Cerpen cinta - Setelah pada artikel sebelumnya admin memperlihatkan postingan yaitu cerpen lucu kali ini kau juga bisa melihat sebuah cerpen cinta yang tidak mengecewakan mengharukan yang bisa kau nikmati ketika santai dan waktu senggang.
Sekedar info saja, cerpen cinta ini diambil dari sebuah blog tetangga yang berisi kumpulan cerpen terbaru. Nah, eksklusif saja silahkan disimak cerpennya... cekidoot.
Michelle menggantung ujung penanya di jari sambil memikirkan hal apa saja yang menurutnya menarik untuk ditulis di jurnal pribadinya itu. tak sengaja ia memandang wajah pemuda yang masih serius dengan musik ditelinganya. Wajah pemuda itu terlihat ibarat bercahaya. Hidung, mata, poni dan bibirnya terlihat sangat sempurna. Sempat terbesit dipikirannya betapa beruntung pemuda itu mempunyai wajah sempurna, dan bila dilihat tampaknya pemuda itu juga mempunyai kehidupan yang sempurna. Dia tersadar dari lamunannya ketika tangan pemuda itu bergerak membuka earphone ditelinganya, ia segera berpura-pura sibuk dengan jurnalnya. Dalam hati ia sangat malu alasannya ialah hampir tertangkap berair sedang memperhatikan pemuda itu.
Cowok itu meletakkan kaset itu diatas meja kasir dan mengeluarkan uang dari dompetnya.
Michelle segera berdiri dan menghitung harga kaset itu dengan lat pemindai barcode, ia memandang layar komputer dengan hati-hati. Dia masih merasa sedikit grogi. “Rp. 40.000..” ucapnya pelan, ia menghindari tatapan mata pemuda itu.
Cowok itu memperlihatkan uang Rp. 50.000 pada Michelle. Dia mencicipi kecacatan perilaku Michelle. Dia memandang bayangan wajahnya di beling transparan yang menjadi dinding toko kaset itu, memastikan tak ada yang absurd pada wajahnya. Namun tak ada apapun yang menciptakan wajahnya terlihat janggal.
Michelle segera membungkus kaset tadi dan memberikannya pada pemuda itu bersama uang kembalian. “Ini, terima kasih sudah berkunjung ketoko kami dan silahkan kembali lagi..” ucapnya pelan. Sekilas ia memandang kedua bola mata pemuda itu. bola matanya berwarna coklat muda, sangat mengagumkan.
Cowok itu tersenyum, “Thank’s..” ia mengambil kaset dan uang kembaliannya, kemudian segera melangkah keluar dari toko.
Michelle sempat memandangi pemuda itu untuk beberapa saat, kemudian ia kembali memandang jurnalnya. Entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang akan terjadi yang bekerjasama dengan pemuda itu, tapi ia berusaha membuang pikiran itu jauh-jauh.
“Jangan terlalu memperhatikan.. Nanti patah hati..” Goda Kevin, bos tempatnya bekerja sambil berlalu dengan senyuman khasnya.
Michelle hanya tersenyum tipis sambil menundukkan wajah.
Yap! Inilah hidupnya. Michelle Regina. Seorang gadis yang masih berusia 17 tahun yang sudah harus mencicipi beratnya berjuang demi menyambung hidup. Pada usia 11 ibunya meninggal alasannya ialah kanker. Wanita yang sangat tegar dan selalu menjadi ilham hidupnya. Tak usang kemudian ia mencicipi betapa kejamnya ibu tiri, bahkan ayahnya sudah mulai tak memperdulikan dirinya. Ketika adik tirinya lahir, ayahnya bahkan tidak segan-segan menyakitinya. Hingga jadinya ia tetapkan untuk melarikan diri ketika usianya masih 15 tahun. Oleh alasannya ialah itu ia tak bisa melanjutkan sekolahnya. Dia berjuang sendiri dengan tangan dan kakinya untuk menyambung hidup.
Michelle berjalan seorang diri diantara gelapnya malam. Jalanan belum terlalu sepi. Dia merapatkan jaketnya sambil memastikan sekeliling. Dingin terasa sangat menusuk kulit. Dia mempercepat langkahnya semoga segera hingga ke kontrakan kecil yang ia sewa dengan harga paling murah. Kondisi rumah itu hanya mempunyai dua ruangan kecil, potongan depan ia jadikan kamar dan dibelakang dapur. Meskipun begitu, ia bisa menyulap rumah itu menjadi rumah yang sangat nyaman. Dia tinggal di tempat kumuh dan lingkungan yang kurang baik. Selisih beberapa rumah dari kontrakannya ada tempat pelacuran yang selalu buka hingga pagi, bahkan ia pernah ditawari untuk bekerja disana.
Michelle membaringkan tubuhnya diatas kasur. Memandang langit-langit kamarnya. Tiba-tiba ia teringat wajah pemuda tadi, wajah yang ibarat bercahaya yang telah menarik perhtiannya. Dia gres menyadari kalau ia ialah remaja. Tapi apa yang harus ia lakukan?? Berlaku ibarat remaja lain yang menghabiskan uang di mall bersama teman-teman mereka, atau mempunyai kekasih tampan yang selalu mereka pamerkan kemana-mana? Sudah niscaya ia tak bisa melaksanakan itu semua. Hidupnya hanya bisa diisi oleh kerja keras untuk menyambung hidup. Rasanya ia tak berhak mendapatkan itu semua.
Tapi.. bayangan pemuda itu menciptakan hatinya bergetar. Apa yang terjadi?
***
Malam ini Michelle pulang lebih awal alasannya ialah bos tempatnya bekerja mempunyai program yang tak bisa ia lewatkan. Biasanya ia gres pulang dari toko kaset sekitar pukul 10 atau 11, tapi kini gres pukul 8. Dia senang bisa mempunyai waktu senggang malam ini, jadi ia bisa mampir kesebuah pasar malam yang tak jauh dari rumahnya. Meskipun tak mempunyai teman, paling tidak ia bisa merasa terhibur berada di tengah-tengah keramaian sambil menyaksikan banyak sekali pertunjukan. Beberapa kali ia mengelap air mata yang mulai membasahi pipinya ketika mengingat almarhum ibunya sering mengajaknya ke pasar malam dulu. Matanya terpaku pada sebungkus gulali yang dijual oleh seorang pedagang. Dia menyukai gulali, tapi bila ia membeli gulali itu bisa saja membuka kenangan-kenangan perihal ibu yang sangat mencintainya. Suasana membahagiakan itu cukup menyiksa batinnya, jadi ia tetapkan untuk pulang.
Dia menendang beberapa kerikil kecil yang tergeletak dijalan. Jalanan menuju rumahnya sangat sepi, menciptakan suasana hatinya semakin mellow. Tiba-tiba terdengar bunyi kendaraan beroda empat yang direm secara paksa tak jauh dari tempatnya berjalan, ia melirik kendaraan beroda empat itu dari sudut matanya. Tampak beberapa laki-laki bertubuh besar keluar dari kendaraan beroda empat sambil menyeret seorang laki-laki muda yang menggunakan sweater berwarna abu-abu. Dia tak bisa melihat laki-laki yang diseret itu dengan jelas. Dia hanya menunduk berpura-pura tak melihat apapun. Karena disekitar rumahnya bukan hal yang absurd bila terjadi tindak kriminal.
“Aaaww!!” rintih Michelle ketika salah seorang laki-laki besar itu menabraknya. Dia memegangi bahunya yang nyeri.
Pria itu memandang Michelle dengan muka garangnya, “Jangan menutupi jalan!!”
Michelle segera menyingkir dari jalan semoga mereka bisa lewat.
“Lepasin!!!” seru laki-laki yang diseret itu.
Michelle mengangkat wajahnya untuk melihat laki-laki itu. Meskipun gelap, tapi ia bisa mengenali laki-laki itu dengan praktis dari hidung dan matanya. Dia terkejut ketika menyadari yang sedang diseret itu ialah pemuda yang tempo hari berbelanja di toko kasetnya.
Cowok yang tak bisa berkutik alasannya ialah dipegangi oleh dua orang bertubuh besar dikanan dan kirinya itu juga mengenali Michelle, ia berteriak meminta pertolongan. “Heii!! Loe yang di toko kaset itu kan?? Please! Tolong gue!!!”
Michelle ingin sekali bisa menolong laki-laki itu, tapi apa yang bisa ia lakukan. Dia ketakutan. Tiba-tiba seorang laki-laki yang paling belakang menjambak rambutnya dengan kasar. “AAAwww!!!!” jeritnya.
Pria bertubuh besar itu mencengkeram rambut Michelle dengan kuat, kemudian berbisik ditelinga gadis itu. “Anggap loe ngga ngeliat apapun malam ini kalau loe masih mau hidup!! NGERTI LOE?!!” ancamnya.
Michelle kesakitan. Tak tau apa yang harus ia perbuat, ia mengangguk perlahan. “I.. iya..”
“Kalalu loe hingga ngelapor ke polisi, loe bakalan gue buat kayak pemuda yang didepan itu!!!” laki-laki itu menyentakan tanganya hingga tubuh Michelle yang kecil terhempas ke aspal.
DUUG!!! Rasa pedih menjalar dikepala Michelle untuk beberapa saat, kemudian menghilang. Secercah cahaya masuk kecelah matanya, ingatan-ingatan tak mengenakan itu kembali muncul. Senyum ibunya, kasih sayang yang selalu ia rasakan ketika itu. dan perlakuan tidak adil dari ayahnya.
“Chel! Chel! Banguun!” Ucap sebuah bunyi lembut yang tak asing ditelinga Michelle.
Michelle membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sangat pusing, semuanya terasa berputar. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk membiasakan matanya dengan cahaya terang. Setelah beberapa ketika gres ia bisa melihat dengan terang siapa yang memanggil namanya, Finda, seorang gadis yang tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya.
“Loe kenapa Chelle?? Kok bisa pingsan di jalanan gini??” Tanya Finda cemas.
Setelah mendengar ucapan Finda, Michelle gres mengingat bencana terakhir. Ternyata ia pingsan semalam. Dahinya terluka, darah kering masih terpapar terang disana. Dia belum punya cukup tenaga untuk menceritkannya pada Finda.
“Yaudah, loe bangun dulu.. gue anter kerumah ya.. Loe istirahat aja dulu..” Ucap Finda sambil membantu Michelle bangkit.
Sesampai dirumah. Michelle segera berbaring ditempat tidurnya. Dia mengingat pemuda yang telah merasuki pikirannya selama berhari-hari itu. bagaimana nasibnya sekarang.
“Ohh.. jadi gitu. Hati-hati loe Chel, mereka niscaya orang suruhan yang ditugasin untuk ngabisin tuh cowok. Mending jangan cari gara-gara dengan orang yang kayak gitu. Entar malah loe yang kena batunya.” Ucap Finda sesudah mendengar dongeng Michelle ketika ia gres selesai mengobati luka didahi gadis itu.
“Tapi gue khawatir banget dengan pemuda itu..” Ucap Michelle.
Finda memandang Michelle tak mengerti, “Chell.. belum apa-apa aja loe udah kayak gini, gimana kalau loe sampe dibunuh sama mereka?? Emang loe kenal sama pemuda itu??”
Michelle menggeleng, “Ngga.. tapi ia pernah belanja di toko kaset tempat gue kerja.”
“Udah deh, Chel.. Jangan cari masalah! Yaudah, gue balik dulu ya. Takut nyokap nyariin.. loe ngga apa-apa kan gue tinggal??” Tanya Finda.
Michelle tersenyum tipis sambil mengengguk, “Iya, ngga apa-apa.. Thank’s ya..”
Finda bangun dan keluar dari rumah kontrakan Michelle.
Walaupun Finda memintanya untuk tidak memikirkan perihal pemuda itu, tapi pikirannya tak bisa berhenti membayangkan wajah panik pemuda itu semalam. Dia merasa sangat bersalah alasannya ialah tak bisa melaksanakan apapun. Dia bangun perlahan dan duduk di pinggir kasur, menciptakan daftar kecil diotaknya perihal apa saja yang mungkin terjadi pada pemuda itu.
Benturan dikepala benar-benar membuatnya tak bisa berlama-lama menegakkan kepala selama beberapa hari. Hal itu membuatnya terpaksa mengambil cuti untuk sementara waktu dari tempat kerjanya. Dihari ketiga, ia sudah bisa beraktifitas ibarat biasa meskipun pusing dikepalanya belum hilang seutuhnya.
Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan dari luar.
Reflek kepala Michelle eksklusif memandang kearah pintu. Dalam hati ia bertanya siapa yang datang, ia beridiri perlahan dan berjalan kepintu tanpa mengeluarkan suara.
“Michelle.. ada yang mau ketemu kau nih...” Ucap bunyi riang dari luar, Michelle tau itu ialah bunyi ibu pemilik kontrakan yang selalu ceria, Bu Darni.
Langkah Michelle terhenti sejengkal sebelum mendekati pintu. Siapa yang mencarinya? Itu lah yang sedang bergulat dipikirannya. Dengan sangat hati-hati ia mengintip dijendela kamarnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi dan sedikit gemuk berdiri didepan pintu bersama Bu Darni. Dia segera mengbungkam mulutnya dengan tangan ketika teriakan kaget akan keluar dari mulutnya. Dia melangkah mundur sepelan mungkin menjauhi pintu. Pikirannya kacau. Dia tak tau harus melaksanakan apa. Kenangan-kenangan jelek di masa kemudian kembali muncul dibenaknya. Masih ingat terang dipikirannya bagaimana cara laki-laki tinggi dan sedikit gemuk itu menghukumnya hanya alasannya ialah ia tidak terlihat senang ketika adik tirinya lahir, ia nyaris mati alasannya ialah ditenggelamkan di bathup. Tubuhnya bergetar, ia sangat panik! Dia benar-benar tak mau bertemu laki-laki yang secara biologis itu ialah ayahnya. Jalan satu-satunya ialah kabur secepatnya. Dia segera menjangkau tas kecil yang tergantung di dekat kasurnya, kemudian dengan cepat ia memasukkan baju secukupnya kedalamnya. Setelah mengambil dompet ia segera masuk kedapur untuk keluar dari pintu belakang sebelum Bu Darni berinisiatif masuk menggunakan kunci cadangan. Dia membuka pintu belakang perlahan, tak terlihat siapapun disana. Dengan cepat ia keluar dan menjauh dari rumahnya secepat mungkin. Dia sudah merasa cukup tersiksa selama ini bersma ayahnya, dan ia tak mau mengalaminya lagi. Tubuhnya masih bergetar ketika ia duduk di halte bus, walaupun ia tak berniat naik bus. Dia masih tak mengerti bagaimana ayahnya bisa mengetahui tempat tinggalnya dan kenapa sesudah beberapa tahun ia pergi dari rumah laki-laki itu malah mencarinya. Sekarang selain kenangan masa kemudian yang menyesakkan dadanya, pertunya juga menyiksanya alasannya ialah ia lupa semenjak kemarin belum makan apa-apa. Dia segera mencari warung untuk mengisi perutnya sebelum pingsan alasannya ialah kelaparan.
Setelah perutnya terisi, pikirannya kembali jernih. Dia memikirkan langkah selanjutnya yang akan ia lakukan. Tidak mungkin untuk sementara waktu ini ia kembali kekontrakan.
“Telah dilaporkan menghilang, seorang anak pengusaha ternama di Indonesia, William Kim, pada dua hari yang lalu...” ucap pembaca gosip di sebuah tv kecil yang terdapat disudut warung itu.
Spontan Michelle memandang ke layar tv. Matanya melotot melihat foto yang terpampang di layar tv. Itu ialah foto pemuda yang semalam diseret oleh orang-orang itu sedang tertawa sambil memegang kamera. dan ciri-ciri yang disebutkan pun sama persis.
“.. ketika menghilang ia mengenakan sweater abu-abu dan jeans berwarna hitam...”
Michelle semakin panik. Ternyata pemuda yang berjulukan William itu belum pulang semenjak bencana malam itu. apa yang terjadi?? Pikirannya kembali berkecamuk. Dia segera meninggalkan warung itu sebelum ada orang yang menyadari kepanikannya. Dia tak tau harus melaksanakan apa dan harus pergi kemana. jadi ia tetapkan untuk mengunjungi makam ibunya.
Dia berjalan diantara makam-makam yang tak terawat. Begitu juga makam ibunya. Sudah bertahun-tahun ia tak berkunjung kemari. Dia membersihkan makam itu dengan tangan, sebersih yang ia bisa. Setelah itu ia duduk di pinggir makam ibunya, ia memandangi nisan ibunya yang sudah mulai memudar. Dalam hati ia menjerit dan menceritakan semua kesedihannya. Air mata pun ikut menemaninya dalam hening. Dia mulai terisak sambil menghapus air matanya.
“Michelle ngga tau harus ngelakuin apa, Ma..” ucapnya lirih. “Bantu Michelle ma.. Michelle ngga bisa menghadapi ini sendiri.” Dia mulai terisak lagi, “Maafin Michelle alasannya ialah ngga bisa jadi anak yang bisa ngebanggain mama.. Michelle takut..” ia karam dalam tamgis beberapa saat, “Apa yang harus Michelle lakuin ma??”
“Loe harus tolong gue..” Ucap sebuah bunyi di sisi lain makam ibu Michelle.
Michelle memandang orang yang mempunyai bunyi itu, dan betapa terkejutnya ia melihat William duduk di hadapannya. Dia terlonjak kebelakang dan hampir terjerembab bila tangannya tidak dengan sigap menahan tubuhnya. Matanya melotot memandang pemuda yang gres saja ia lihat gosip hilangnya di TV. “L.. loe??!!!”
William pun tampak terkejut, ia segera melihat tangan dan tubuhnya. Lalu kembali memandang Michelle, “Loe bisa ngeliat gue??”
“Loe masih hidup??” Ucap Michelle terbata-bata.
William berdiri dan hendak menghampiri michelle yang masih terlihat shock, “Loe bisa ngeliat gue?!” ulangnya.
Michelle berdiri dan segera menjaga jarak dengan William, “Jangan mendekat!!!” serunya.
Langkah William terhenti, ia memandang Michelle yang masih ketakutan dan bingung. “Gue tau loe niscaya kaget ngeliat gue, tapi please! Loe harus nolongin gue!” pintanya.
Nafas Michelle terasa sesak, “Loe masih hidup? Kenapa loe ngga pulang ketempat keluarga loe? Mereka semua nyariin loe..”
“iiya, gur tau..” William melangkah mendekati Michelle.
“Stop! Jangan deketin gue!!!” Michele segera mundur, tangan kanannya terulur kedepan aba-aba menalarang William untuk maju.
“Oke! Gue ngga akan ngedekatin loe!” Ucap William, “Gue Cuma mau minta pertolongan loe!”
“pertolongan gue? Buat apa? Loe tinggal pulang aja kan kerumah loe, semua orang niscaya ngga akan ribut.” Ucap Michelle.
“Gue udah pulang kerumah gue! Gue udah pergi kekampus! Gue udah pergi kemana pun tempat dimana orang selalu mondar-mandir. Tapi ngga ada satu pun dari mereka yang ngeliat gue!! Dengar bunyi gue! Atau pun ngerasain sentuhan gue!!!!” Jelas William frustasi.
Michelle terkejut mendengar ucapan William, “Apa?!”
“Iya.. gue kaget banget loe bisa ngeliat dan denger bunyi gue tadi! Please! Gue mohon bantu gue! Udah dua hari keluarga gue khawatir nyariin gue! Tapi mereka ngga tau keberadaan gue! Please! Gue mohon...” bunyi William terdengar memelas.
Michelle masih tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, “Jadi maksud loe, loe udah meninggal?”
William menunduk, kemudian mamandang Michelle lemah. Dia mengangguk pelan, “Gue rasa...”
Michelle semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi, “Tunggu, berarti loe ini hantu?!”
“Itu nggak penting! Gue butuh tunjangan loe untuk nemuin tubuh gue! Please! Nyokap gue khawatir banget.. ia ngga bisa melaksanakan apapun kecuali nangis alasannya ialah gue belum ditemuin..” Ucap William lagi.
Michelle berusaha mencerna bencana itu dengan pikiran jernih, tapi begitu banyak kejutan hari ini yang membuatnya panik.
“Gue mohon! Cuma loe impian gue.. walaupun nyokap gue ngga ngeliat gue pulang dengan selamat, tapi paling ngga ia bisa ngeliat tubuh gue. Dia ngga akan duka mikirin gue yang menghilang...” ucap William meyakinkan Michelle.
Michelle memandang William dengan wajah menyesal, “Sorry, gue ngga bisa ngebantuin loe. Loe tiba sama orang yang salah...” ia memperbaiki sandangan tasnya, kemudian berjalan pergi.
“Heiii! Jangan pergi!” William mengikuti Michelle. “Please tolong gue! Cuma loe yang bisa ngebantuin gue!”
Michelle terus berjalan tanpa menggubris ucapan-ucapan William, meskipun hatinya sangat menyesal. Sepanjang jalan pemuda itu tak henti-hentinya memohon semoga ia mau manolongnya. Tapi ia hanya diam. Dan ternyata memang tak ada satu orang pun yang mendengar ucapan William kecuali dirinya.
“Please!! Andai loe jadi gue, apa loe bakal biarin nyokap loe duka setiap hari alasannya ialah mengira loe menghilang...” Ucap William dengan nada memelas.
Michelle tergugah alasannya ialah ucapan William barusan, ia berhenti melangkah dan memikirkannya.
“Itu nyokap gue!” Ucap William sambil menunjuk layar tv yang terdapat pada sebuah warung dengan tatapan matanya.
Michelle memandang layar tv. Tampak seorang ibu-ibu yang masih bagus terawat menangis didepan semua media yang meliput.
“Saya tidak butuh apapun kecuali putra saya, Will!! Tolong kembalikan dia!!” ucap ibu William dengan linangan air matanya.
Michelle terdiam, tak tau apa yang harus ia lakukan. Dia terkejut melihat William tiba-tiba berlutut dihadapannya. Dia melihat kanan kiri, tapi tak ada yang melihat apa yang sedang dilakukan pemuda itu. “Heii..” ucapnya pelan, berharap tak ada yang mendengarnya.
William berdiri dengan satu lututnya dihadapan Michelle, kepalanya tertunduk. “Gue mohon!”
Hati Michelle luluh melihat keteguhan William. Dia teringat almarhum ibunya, ia juga niscaya tak tega bila melihat ibu yang dicintainya menangis cemas ibarat itu.
William mengangkat wajahnya memandang Michelle, “Apa gue perlu nyium kaki loe??”
Michelle menggeleng pelan, “Oke, gue bantu loe..”
Wajah William eksklusif berseri, ia segera berdiri dan hampir memeluk Michelle. Tapi ia sadar kalau tubuhnya sudah tak sepadat dulu hingga bisa memeluk seseorang. Dia tak tau harus bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihnya, “Makasih banget...”
Michelle mengangguk sambil tersenyum tipis, dalam hati ia bertanya-tanya apakah ia bisa membantu William.
“Hmm.. nama loe siapa?” Tanya William sesudah cukup usang hening ketika ia dan Michelle duduk disebuah taman permainan bawah umur yang sudah usang tidak digunakan.
Michelle yang duduk sambil memeluk lututnya dibawah sebuah jembatan gantung memandang William, “Michelle.. dan nama loe William kan?”
William tersenyum tipis, ia tak terkejut Michelle mengetahui namanya. Karena semenjak tadi pagi fotonya sudah tersebar dilayar tv, “Ya.. loe cukup panggil gue Will...”
Michelle mengangguk, kemudian keadaan hening lagi.
Akhirnya Will, memulai pembicaraan yang serius. “Apa loe takut ada didekat gue?”
Michelle memandang Will serius, “Tadinya iya..”
“Sekarang?” Tanya Will sedikit penasaran.
Michelle menggeleng, “Ngga lagi. Karena loe ngga kayak hantu yang ada dicerita fiksi. Loe ngga berdarah, ngga ketawa yang nyeremin..” ia tertawa kecil ketika menyampaikan itu.
Will tersenyum, “Ya, gue emang ngga kayak gitu..”
“Oh iya, malam itu. orang-orang itu bawa loe kemana?” Tanya Michelle.
Will mencoba mengingat, “Yang jelas, tempatnya pengap. Disekeliling tempat itu ada air. sekitar 5 menit dari jalan tempat kita ketemu. Gue ngga bisa ngeliat terang alasannya ialah waktu itu gelap banget!”
“loe diapain sama mereka?” Tanya Michelle hati-hati.
Will menatap kedua mata Michelle, terlihat kepedihan dimatanya. “seinget gue, begitu samapai disana mereka eksklusif nutup mata gue pake kain. Dan gue diseret lagi ngga tau kemana. Gue udah berusaha untuk ngebuka epilog mata itu, tapi tangan gue ngga bisa digerakin. Dua orang megangin tangan gue kenceng banget! Ngga usang kemudian mereka mendorong gue dan gue jatoh. Setelah itu gue ngga tau apa-apa lagi. Waktu gue sadar, gue ada kamar gue. Tapi ngga ada seorang pun yang menyadari kehadiran gue.” Jelasnya.
“Dan jatuh itu yang menimbulkan loe meninggal?” Tanya Michelle memperjelas.
“Gue rasa..” Ucap Will.
“Apa loe kenal siapa mereka?” Tanya Michelle lagi.
“Sama sekali ngga. Tiba-tiba aja mereka muncul waktu gue sedang dalam perjalan pulang dari tempat kursus musik, mereka eksklusif nyeret gue masuk kemobil.” Jelas Will lagi.
Michelle memikirkan semua informasi dari Will, mencoba menemukan petunjuk dari informasi-informasi itu. tiba-tiba ia teringat sesuatu, “tempat yang disekitarnya air?” gumamnya sambil mengingat.
Will memperhatikan Michelle.
“Apa tempat yang loe maksud itu kayak gedung renta yang disekitarnya danau?” Tanya Michelle.
Will mencoba mengingat, “Gue gak tau niscaya apa disekitarnya danau atau kolam, atau apapun itu. tapi gedungnya emang keliatan renta banget!”
“Kayaknya gue tau tempat yang loe maksud! Ayo!” Michelle segera berdiri dan melangkah cepat menuju tempat yang dimaksud Will itu.
Will segera mengikuti Michelle. Dia benar-benar berharap pada tunjangan gadis berambut panjang itu.
***
Michelle mengendap-endap dibalik pohon besar sambil memperhatikan sebuah gedung renta yang tidak mengecewakan jauh dari tempatnya berdiri, Will tak perlu repot-repot bersembunyi ibarat dirinya.
“Apa gedung itu yang loe maksud?” Tanya Michelle setengah berbisik.
Will memperhatikan gedung itu, disekitarnya memang terdapat danau. “Iya, gue yakin ini gedungnya..”
Angin lembut meniup rambut Michelle yang dibiarkan lepas, bekas perban dikepalanya masih terlihat bersih. “Gue harus masuk untuk ngeliat apa ada petunjuk perihal tubuh loe..”
“Maksud loe, kita?” Will menjelaskan maksudnya.
Michelle memandang Will sesaat, “Oke, kita harus masuk untuk ngeliat apa ada petunjuk perihal tubuh loe..” ulangnya.
Will tersenyum tipis, “Oke, kita masuk sekarang..”
Michelle melangkah keluar dari balik pohon dan melangkah pelan kearah gedung. Dia berusaha terlihat biasa saja semoga tidak ada yang curiga, walaupun tak ada satu orang pun yang terlihat berada disekitarnya. Will berjalan disisinya dengan impian yang membumbung tinggi.
Gedung itu sama sekali tak ada yang menjaga atau gejala ada orang yang pernah kesana. Hampir disetiap permukaan dinding potongan luar penuh dengan coretan cat pilox dan arang. Kondisi gedung itu juga tak memungkinkan bila ada yang tinggal disana. Mereka berhenti didepan gedung sambil melihat situasi.
“sepi banget! Kayaknya ngga ada orang..” Ucap Michelle.
“Jangan terlalu cepat mennyimpulkan.. kita belum tau apa yang tersembunyi didalamnya...” Ucap Will mengingatkan.
Michelle mengangguk, ia membetulkan posisi tas dan melangkah perlahan memasuki gedung yang pintunya sudah tidak terang ibarat apa bentuknya. Tanpa mengeluarkan bunyi ia melewati pintu. Lantai didalam gedung dipenuhi dedaunan kering yang terbawa angin dari depan gedung. Suasana didalam gedung terasa sedikit mencekam. Kondisi diruang pertama dan kedua sama, tak ada gejala ada orang disana.
“Diruangan ini mata gue ditutup dan diseret ngga tau kearah mana...” Ucap Will ketika mereka masuk ke ruang ketiga.
Michelle berhenti sejenak memperhatikan sekitar. Ruangan itu terlihat biasa saja, masih dengan sampah dedaunan kering yang acak-acakan dilantai. Tapi tidak sebanyak di ruangan sebelumnya. Matanya melihat sesuatu yang terselip diantara dedaunan. Hati-hati ia menyibakkan dedaunan itu dan menemukan sebuah handphone berwarna hitam dengan sedikit gores dipinggirnya.
“Handphone gue!” seru Will.
“Handphone loe mati..” Ucap Michelle, kemudian memandang Will.
“Emang selalu gue matiin waktu kursus.. gue belum sempat ngaktifin lagi alasannya ialah mereka keburu dateng. Mungkin handphone gue jatoh waktu mereka ngedorong gue disini..” Jelas Will.
“Hei!!” seru seseorang di belakang Michelle.
Michelle terkejut dan eksklusif memandang kebelakang, ia terkejut melihat seorang laki-laki bertubuh besar berdiri di pintu masuk.
“Lari!!!” Teriak Will panik.
Michelle segera berlari kedalam gedung untuk menghindari orang tadi.
“HEI! Jangan lari loe!!!!” laki-laki tadi segera mengejar Michelle.
Michelle berlari sekencang mungkin, masuk ke ruangan satu dan lainnya. Dalam hati ia berharap tidak ada laki-laki besar lainnya didalam gedung. Dia sangat panik.
“Michelle! Di balik kardus-kardus itu!” Seru Will sambil menunjuk tumpukan kardus disudut ruangan.
Michelle tak sanggup berlari lagi, ia mengikuti saran Will dan segera bersembunyi dibalik kardus itu. nafasnya terengah-engah. Dia duduk dibelakang tumpukan kardus itu sambil mengatur nafas dan memasang pendengarannya dengan baik.
“Dia kesini! Jangan bersuara!” Ucap Will dari pintu masuk ruangan itu.
Michelle eksklusif menahan dirinya semoga tidak mengeluarkan bunyi sedikit pun.
Tak usang terdengar bunyi langkah berat memasuki ruangan itu. jantung Michelle berdegup kencang, ia benar-benar panik. Dia menutup verbal dan memejamkan matanya. Suasana hening sejenak, kemudian terdengar langkah berat itu mendekati tempatnya bersembunyi. Tiba-tiba terdengar bunyi musik yang ternyata berasal dari handphone laki-laki itu, ia hampir saja berteriak alasannya ialah kaget.
Pria itu segera mengangkat panggilan di handphone-nya, “Hallo bos..” ia membisu sejenak, “Tenang bos, ngga ada yang tau perihal anak itu... hening bos, anak itu masih berada di dalam lubang itu. Iya, bos.. Besok akan segera saya pindahkan ke tebing didekat gedung ini.. Lapor bos, ada penyusup ke gedung ini.. Tapi akan segera saya bereskan! Baik..” dan pembiacaraan itu selesai. Terdengar langkah berat itu menjauh pergi.
“Dia udah pergi.” Ucap Will tak usang kemudian.
Michelle menghela nafas lega sambil mengurut dadanya. Dia bangun perlahan sambil memperhatikan sekitar, memang sudah tidak ada laki-laki tadi. “Kita harus segera pergi dari sini!” ucapnya pelan.
Will mengangguk, “Ayo!”
Ketika hendak melangkah keluar dari belakang tumpukan kardus itu, tangannya tak sengaja menyenggol sebuah kardus yang menimbulkan tutupnya terbuka. Dia terkejut melihat sebuah senjata api laras pendek tergeletak di dalam kardus diatas daun-daun kering.
“Ini... ganja..” Ucap Will mengenali daun itu.
“Hah?” Michelle memandang Will tak percaya. Dia kini sedang berhadapan dengan pengedar ganja yang semenjak beberapa bulan kemudian mulai dibicarakan oleh tetangga dan orang-orang disekitar rumahnya. “Ayo pergi!” ia melangkah menuju pintu.
“Tunggu! loe niscaya butuh ini.” Will menunjuk senjata api tadi.
Michelle memandang Will tak mengerti, “pistol? Buat apa?”
“Michelle! Salah satu dari mereka udah ngeliat loe ada ditempat mereka, ngga mungkin mereka ngebiarin loe gitu aja. Loe butuh proteksi diri..” Ucap Will mengingatkan.
Michelle mengerti maksud Will dan sepakat akan hal itu, ia segera mengambil senjata api itu dan memasukkannya kedalam tas. “Kita pergi sekarang!”
“Ayo, lewat jendela! Loe ngga mungkin keluar lewat depan lagi.” Ucap Will sambil menunjuk jendela yang tepat berada dihadapan pintu tempat mereka berdiri.
Michelle mengangguk, ia segera melangkah kejendela, kemudian membuka jendela perlahan. Untung jendela itu tidak macet atau sebagainya, namun jendela itu tidak bisa terbuka lebar. Dia menjulurkan kakinya keluar dan berusaha menyelipkan tubuhnya secepat mungkin. Tiba-tiba ia medengar langkah berat tadi mendekat.
“Cepat! Dia balik lagi!” seru Will.
Ucapan Will menciptakan Michelle semakin tegang, ia berusaha sekuat tenaga mendorong tubuhnya keluar melalui jendela. Akhirnya ia berhasil keluar dan segera berlari tepat ketika laki-laki besar tadi melihatnya berada keluar dari jendela.
“Woooi!! Berhenti LOE!” seru laki-laki tadi.
“Ayo Michelle! Jangan berhenti! Jangan liat kebelakang!” Ucap Will.
Michelle terus berlari. Terdengar bunyi tembakan dari gedung tadi. Beruntung peluru-peluru itu tidak mengenainya, hanya sempat nyaris melukai tubuhnya bila ia tidak terpeleset dan terjatuh sesaat hingga peluru itu mengenai pohon besar di sebelahnya. Dia tak membuangkan waktu untuk berlari lagi.
Tanpa disadari ia sudah berlari hingga ke jalan dimana ia melihat Will diseret oleh orang bertubuh besar itu, yang berarti dekat dengan rumah kontrakannya. Dia berhenti sejenak untuk menghela nafas sambil memandang kebelakang, laki-laki bertubuh besar tadi tak terlihat lagi.
“Michelle! Michelle!” Panggil seseorang dari arah belakang Michelle.
Michelle memandang kearah belakang, matanya membesar melihat seorang laki-laki yang tadi pagi membuatnya lari dari kontrakan.
“Itu siapa?” Tanya Will heran.
“Bokap gue!” Ucap Michelle pelan, kemudian eksklusif berlari melarikan diri lagi.
“Lho, kenapa loe kabur?” Will mengikuti Michelle.
***
“Oh.. jadi gitu?” Ucap Will sesudah mendengar alasan Michelle kenapa kabur dari ayahnya tadi.
Michelle menunduk memandangi jemarinya. Dia dan Will berada dibawah sebuah terowongan yang sering ia datangi ketika merasa tak mempunyai tempat untuk sendiri. Hari sudah gelap, hujan turun perlahan membasahi bumi. Dia memandangi rintik-rintik hujan yang turun semakin deras sambil memeluk kedua kakinya. Udara malam yang cuek mulai menusuk kulitnya. Berkali-kali ia merapatkan jaket.
“Tapi kenapa loe kabur? Mungkin aja bokap loe dateng untuk minta maaf alasannya ialah ia udah menyadari kesalahannya atau mau memberikan hal penting lainnya..” Ucap Will.
Michelle memandang Will, “Hmm.. kemungkinan itu Cuma 5% akan terjadi..” ucapnya, “Loe ngga pernah tau gimana ia udah nyakitin gue. Bukan hanya hati gue. Tapi seluruh masa depan gue..”
“Michelle, 5% tetap saja peluang..” Ucap Will.
“5% itu sangat kecil! Gue ngga mau mengambil resiko hanya untuk 5%..” Ucap Michelle.
“Bukan hanya 5%.. Tapi kau masih mempunyai 5% kan..” Ucap Will. Secara tidak eksklusif ia ingin memberi motivasi pada gadis muda itu.
Michelle senang mendengar ucapan Will, paling tidak ada yang menghibur hatinya ketika ini.
“Umur loe berapa?” Tanya Will.
“17.. kenapa?” Tanya Michelle penasaran.
Will agak terkejut mendengar tanggapan Michelle, “Waktu gue ketemua loe di toko kaset sekitar jam 10 pagi, seharusnya jam segitu loe ada di sekolah kan?” Tanyanya.
Michelle mengerti maksud Will, “Hmm.. memang seharusnya begitu. Tapi bagaimana gue bisa sekolah kalau setiap hari gue harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri?”
“Jadi, sesudah loe kabur, loe ngga tinggal sama sauadra atau siapa gitu?” Tanya Will lagi.
“Ngga, gue ngga punya siapa-siapa selain nyokap bokap gue. Gue ngga kenal siapa pun yang bisa menolong gue. Setelah kabur dari rumah, gue berusaha mati-matian melanjutkan hidup sendirian. Setahun sebelum gue dapet kerja tetap dan bisa nyewa kontrakan, gue tidur di mana aja. Gue kerja apa aja. Dan suatu hari ketika semuanya terlalu berat, gue hampir..” Michelle menahan kata-katanya.
Will menunggu kata-kata selanjutnya, ia memposisikan dirinya sebagai pendengar yang baik. Dia bisa melihat kedua bola mata Michelle berkaca-kaca.
Michelle menyibakan poninya yang menutupi wajah, kemudian memandang Will dengan wajah tegarnya. “Gue hampir termakan untuk menjadi pelacur. Karena gua ngga bisa ngelakuin apapun selain menjual diri.”
Will tampak tak percaya, ia memandang Michelle dari atas kebawah. “Maksud loe, loe udah ngga....” Dia tak melanjutkan ucapannya.
“Tentu aja masih!” Seru Michelle, “Gue bilang HAMPIR!!”
Will lega mendengar itu, ia kembali membisu dan mendengarkan.
“Tapi ingatan perihal almarhum nyokap menyadarkan gue. Kalau gue masih punya tangan, gue masih punya kaki.. So, gue bisa berusaha dengan cara yang baik. Gue ngga mau suatu ketika orang-orang ingat perihal gue sebagai pelacur yang udah menghancurkan rumah tangganya, atau lebih jelek dari itu. dengan perjuangan gue, jadinya gue dapet pekerjaan di toko kaset itu..” Cerita Michelle, sekaligus mengklarifikasi ucapannya tadi.
Will mengangguk mengerti. Dia memandang Michelle kagum, tak menyangka gadis semuda itu telah mengalami hidup seberat itu. sedangkan ia tidak pernah merasa menderita seumur hidupnya. “Loe tau, kini umur loe masih 17. Tapi loe udah ngalamin hal yang seharusnya loe rasain mungkin sesudah umur 25. Gue salut loe bisa melewati ini semua.”
Michelle tersenyum tipis. Tak tau harus tersanjung atau duka manyadari kehidupannya yang menyedihkan.
“Loe tau, semenjak lahir. Gue ngga pernah kekurangan apapun. Dan gue bukan orang yang selalu meminta pada orang renta walaupun gue bisa. Sejak kecil nenek gue selalu mengajarkan untuk berusaha sendiri, tapi sekeras apapun gue berusaha, gue tetep aja menggunakan apa yang udah ortu gue kasih. Tapi gue ngga pernah ngerasa semua itu salah, alasannya ialah gue anak mereka dan masuk akal mereka memenuhi kebutuhan gue. Teman-teman gue juga ngelakuin itu, jadi kenapa gua ngga? Tapi, sesudah gue ketemu loe. Walaupun kondisi gue bukan sebagai orang hidup, gue ngerasa malu banget! Gue malu pada diri gue sendiri. Bulan depan gue pas 19 tahun, tapi apa yang idah gue perbuat untuk diri gue sendiri? Ngga ada! Sedangkan loe yang lebih muda dari gue udah bisa menghidupi diri loe sendiri..” sorot mata Will memperlihatkan ia benar-benar rasa salutnya.
Michelle memandang Will sejenak. Lalu ia berkata, “Pernah suatu hari, sehari sebelum gue kabur dari rumah, gue mikir. Kenapa gue ngga terlahir sebagai anak orang kaya yang mempunyai segalanya, kenapa gue ngga terlahir dikeluarga serasi yang saling menyayangi. Gue nangis sepanjang malam hingga mata gue bengkak. Tapi gue ngga pernah mendapatkan tanggapan itu. sesudah gue mengalami hal yang lebih berat dari itu, gue gres mendapatkan jawabannya...” ia membisu sejenak menunggu tanggapan Will.
“Apa?” tanya Will.
“Gue ngga terlahir sebagai anak orang kaya bukan alasannya ialah gue ditakdirkan miskin. Gue ngga terlahir dikeluarga yang serasi bukan alasannya ialah gue mempunyai ayah yang kasar. Tapi alasannya ialah gue diberi pelajaran perihal hidup yang sesungguhnya. Dimana gue harus berkerja keras untuk memperbaiki hidup gue semoga tidak terjadi lagi untuk keluarga gue nanti.. gue bisa mencar ilmu bagaimana caranya menjalani hidup yang keras sebelum gue tiba-tiba menemui itu..” Ucap Michelle dengan senyum optimisnya.
Will benar-benar tak menyangka kata-kata sedewasa itu akan keluar dari bibir mungil gadis itu. “Michelle, loe bisa nebak apa yang gue pikirin?”
Dahi Michelle berkerut, “Gimana gue bisa? Gue bukan peramal..”
Will tersenyum tipis, “Gue mikir.. Kalau aja kini kita mengobrol dalam keadaan normal..”
Michelle hanya diam, ia memalingkan wajahnya memandang hujan. Sebenarnya ia ingin menyembunyikan matanya yang mulai berair. Belum ada orang yang benar-benar menghargai keberadaan dirinya sesudah ibunya meninggal.
“Dan Michelle..” Panggil Will.
“Hmm..” Gumam Michelle tanpa memandang Will.
“Gue berharap, loe akan hidup bahagia. Benar-benar bahagia. ngga perlu lagi lari dari apapun. Dan suatu hari nanti loe akan meninggal dengan senyuman diwajah loe di kasur yang hangat, dikelilingi orang-orang yang menyayangi loe.” Ucap Will lembut.
Michelle menghela nafasnya yang mulai berat, air mata menitik satu persatu. Namun ia segera menghapusnya, tak ingin Will menyadarinya.
Meskipun Michelle mencoba menyembunyikan wajahnya, Will sanggup mencicipi apa yang dirasakan oleh gadis manis itu. tangannya bergerak menyentuh rambut gadis itu. Berusaha untuk membelainya, tapi ia tak bisa menyentuh gadis itu. semua ini membuatnya hampir gila. Menjadi hantu yang bergentayangan mencari tubuhnya, itu akan menarik bila berada di sebuah film. Tapi ia tak senang bila mengalaminya. Dia memikirkan pembicaraan lain untuk melewati suasana, dan ia teringat ucapan laki-laki tadi ditelpon. “Michelle, apa berdasarkan loe, yang dimaksud orang tadi dengan ‘anak itu’. itu gue?”
Michelle membersihkan sisa air mata dan memandang Will, “Gue rasa. Karena apa mereka akan menyulik banyak anak dalam waktu yang bersamaan?”
“Gue rasa juga begitu. Tapi, lubang apa yang mereka maksud?” Tanya Will.
Michelle berpikir sebentar, “Gue ngga begitu tau. Tapi gue rasa gue tau dimana tebing yang ia bicarain...”
“So, besok loe mau nyoba ke jurang itu?” Tanya Will.
“Hmm.. sepertinya..” Ucap Michelle.
Will cukup puas mendengar ucapan Michelle. Dan pembicaraan selesai.
***
“Loe yakin mau ke gedung itu lagi?” Tanya Will ketika ia dan Michelle mengendap-endap dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan gedung kemarin.
“Iya, alasannya ialah kita ngga tau apa tubuh loe udah dipindahin atau belum sama mereka.” Ucap Michelle sambil memperhatikan gedung itu.
Didepan gedung berdiri dua orang laki-laki bertubuh besar dengan baju serba hitam disebelah sebuah kendaraan beroda empat yang juga berwarna hitam. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu yang penting. Dari jauh Michelle bisa mengenali salah seorang laki-laki yang berdiri disana ialah laki-laki yang hampir menangkap dan menembaknya kemarin. Dia harus lebih berhati-hati. Tiba-tiba mata laki-laki kemarin itu menyapu pepohonan dan tampak terkejut melihat pohon tempatnya bersembunyi, jantung Michelle sempat berdegup kencang. Dia takut bila ketahuan. Tapi ternyata laki-laki itu tampak tidak curiga, ia melanjutkan pembicaraan. Beberapa ketika kemudian, laki-laki yang kemarin pergi meninggalkan temannya. Lama Michelle menunggu laki-laki kedua ikut pergi, hingga ia bisa kembali menyelinap kedalam gedung.
“Michelle...” Panggil Will sambil memandangi kedua tangannya.
Michelle memandang Will, matanya eksklusif melotot melihat tubuh Will yang mulai menghilang. “Will, loe kenapa?” Bisiknya panik.
Will menggeleng, “Ngga tau, gue bener-bener ngga tau.. kenapa bisa gini??” semakin usang tubuh Will menghilang hingga tak ada yang tersisa.
“Will? Will!!” Panggil Michelle. Tapi Will tak pernah muncul kembali, ia memandang kesekeliling. Namun ketika memandang kebelakang, betapa terkejutnya ia ketika menyadari laki-laki yang kemarin sudah berdiri dibelakangnya.
“Apa kabar nona?” ucap laki-laki itu sambil tersenyum sinis.
Michelle berbalik dan mencoba kabur, tapi laki-laki itu dengan cepat menarik lengan dan menjambak rambutnya. Dia tak bisa berkutik lagi.
“Mau kemana nona manis? Apa loe ngga mau main sama gue dulu?” Tanya Pria itu sambil tertawa.
“Lepasin! Awww!!! Sakit!” jeritnya ketika laki-laki itu menarik rambutnya terlalu keras.
Pria kedua muncul dari balik pohon, “Jangan buang-buang waktu, bawa ia dan masukkan ketempat bocah bau kencur kemarin! Kita ngga mungkin ngelepasin dia!”
“Ayo ikut!!” Seru laki-laki tadi sambil menyeret tubuh Michelle kedalam gedung.
“AAWW!! Sakit!!” Michelle terus memberontak, tapi semakin ia berontak, laki-laki itu semakin erat memegang lengannya. Akhirnya ia tak bisa melaksanakan apapun selain mengikuti dua laki-laki itu.
“Langsung aja bawa ia ke tempat anak itu!!” Perintah laki-laki kedua.
Maksudnya Will? Batin Michelle.
“Baik bos..” Ucap laki-laki tadi.
Michelle malah tak sabar ingin segera bertemu dengan tubuh Will, meskipun ia masih tak mengerti mengapa tiba-tiba arwah Will menghilang. Dia berpura-pura memberontak semoga mereka tak ragu untuk membawanya ketempat tubuh Will. Tapi hal itu malah menciptakan tasnya terjatuh, dan..
PLAKKK!!! Pria besar itu menampar Michelle hingga sudut bibirnya pecah dan menyeluarkan darah. Gadis itu tak bisa memberontak lagi. Semuanya terasa ibarat berputar.
Pria itu membawa Michelle melewati hutan-hutan di sebelah gedung. Tak usang kemudian laki-laki itu berhenti dan meraba-raba tanah yang ditutupi dedaunan kering, kemudian ia menarik sesuatu yang ternyata pintu rahasia. Dengan satu tangan ia mendorong tubuh Michelle kedalam lubang dibalik pintu itu.
DUAAKK!! Tubuh Michelle membentur permukaan keras. Tubuhnya terasa remuk. Sepertinya jarak dari dasar lubang ini dengan permukaannya sangat jauh. Dia tak bisa menggerakkan tubuhnya untuk beberapa saat, ia hanya bisa terbaring kaku dipermukaan curam dan cuek itu. semuanya gelap, apalagi sesudah laki-laki itu menutup pintu tadi dengan keras. Tapi sesudah beberapa saat, ternyata tak segelap awalnya, ia hanya perlu membiarkan pupil matanya terbiasa dengan gelap. Dan semuanya terlihat terang walaupun ibarat melihat dalam ruangan berlampu 5 watt. Setelah memastikan tak ada tubuhnya yang patah, ia perlahan bergerak bangkit. Ketika melihat kesamping kanan, ia melihat sesosok tubuh tergelak tak bergerak.
“Will??!!!” ia berusaha secepat mungkin untuk mendekati tubuh Will.
Kondisi Will sangat memperhatinkan, terdapat beberapa lebam diwajahnya. Tubuh altletis yang terbalut sweater abu-abu itu terkuali lemah tak berdaya. Dia benar-benar tak tega melihat kondisi pemuda itu. ia membuka epilog matanya perlahan, tak ada respon dari Will. Tiba-tiba terdengar langkah besar dari atas, dan pintu diatas kepalanya terbuka. Dia segera berbaring dan berpura-pura pingsan. Ketika itu ia gres menyadari kalau ada sebuah tangga yang melekat di dinding. Terdengar bunyi dua orang laki-laki yang saling berkomunikasi, sesudah itu seorang dari mereka turun.
Jantungnya berdegap kencang, berharap tak terjadi apa-apa pada dirinya. Dia mencicipi langkah besar melewati pinggangnya. Dia mengintip dari celah matanya, laki-laki itu mengangkat tubuh Will dengan susah payah.
“Duhh.. kayaknya mati beneran nih bocah!” Ucap laki-laki itu pada temannya setengah berteriak.
“Biarin aja! Kan lebih praktis ngebuangnya..” Ucap laki-laki yang diatas lubang santai.
“Serius loe? Trus, nih cewek mau diapain?” Tanya laki-laki pertama tadi lagi.
“Udah, ngga usah dipikirin. Biarin aja ia membusuk disini...” Ucap laki-laki kedua, kemudian melemparkan seutas tali kebawah.
Pria pertama mengikatkan tubuh Will pada tali dan membiarkannya naik keatas, kemudian ia naik melalui tangga. Tak usang kemudian terdengar bantingan pintu dan semua kembali gelap.
Michelle membuka matanya perlahan, ia segera bangun dan meraba-raba mencari tangga tadi. Dengan hati-hati ia memanjat tangga. sesudah tiba di puncak tangga, ia berusaha membuka pintu dengan kepala dan sebelah tangan. Bersyukur pintu itu tidak dikunci atau di tahan oleh apapun. Dia segera keluar dari lubang dengan hati-hati. Ketika itu ia gres menyadari tangan dan kakinya lecet di beberapa tempat. Setelah memastikan lingkungan aman, ia melangkah cepat keluar dari hutan. Will niscaya sudah dibawa ke jurang itu, tapi ia tak mungkin tiba kesana dengan tangan kosong. Makara ia tetapkan untuk kembali ke gedung renta itu untuk mengambil tas, itu pun bila para laki-laki itu tidak membuang tasnya. Dia melangkah perlahan menuju gedung renta sambil menahan sakit dri kakinya. Dia bersembunyi dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan keadaan gedung, tak terlihat ada orang disana. Sepertinya kedua orang tadi tidak ada, ia segera melangkah masuk ke gedung dan mencari tasnya. Ternyata tas berwarna hitam itu masih berada di tempat ketika ia jatuh. Dengan cepat ia membuka tas dan mengluarkan pistol serta handphone Will. Sambil melirik kanan dan kiri ia memasukkan handphone Will ke saku celana, kemudian berjalan keluar dengan memegang pistol. Meskipun tak pernah menggunakannya, tapi ia sudah biasa melihat dalam adegan di film. Paling tidak ia tahu bagaimana cara untuk menggunakannya.
Dia menelusuri hutan sambil tetap was-was. Dengan sigap ia segera bersembunyi di balik sebuah pohon ketika melihat dua orang laki-laki besar tadi diujung jalan.
“Si bos absurd banget! Ngapain ngebiarin tuh bocah disana. Tinggal di lempar ke jurang kan beres, gak ada bukti lagi kalau kita yang udah nyulik dia.” Ucap Seorang laki-laki ketika berlalu.
“Iya, kalau gini ceritanya keburu ketangkep kita..” Ucap yang satu lagi.
Michelle lega mendengar itu, berarti tubuh Will belum dibuang kejurang, ia harus bergerak cepat semoga tidak terlambat. Dia segera menyelinap diantara pohon menuju pinggir jurang. Jurang itu sangat dalam, bila terjatuh kedalam mungkin akan eksklusif mati. Dari kejauhan ia bisa melihat tubuh Will yang tergeletak beberapa inci dari pinggir jurang. Disana hanya 1 orang yang berdiri memandang kearah langit-langit jurang, laki-laki bertubuh atletis itu terlihat sangat hening sambil memasukkan kedua tangannya disaku. Dari belakang laki-laki itu terlihat familiar dimatanya. Dia menggenggam erat pistol sambil berjalan mendekati laki-laki itu.
“Kenapa loe nyulik Will??” Tanya Michelle pelan.
Cowok itu tak terlihat kaget mendengar bunyi Michelle. Dia berbalik pelan dan memandang gadis itu.
Michelle terkejut melihat laki-laki itu. laki-laki yang tak asing dimatanya. Kevin, bosnya di toko kaset. Dia memandang pemuda itu tak percaya, “Kevin?”
Kevin tersenyum, “Hei Michelle, tiba untuk melihat-lihat?”
Michelle benar-benar tak percaya Kevin ada dibalik penculikan Will, seseorang yang menurutnya ramah dan hangat. “Kevin, loe bos orang-orang itu??”
Kevin tersenyum bangga, ibarat seorang anak kecil yang gres saja menjuarai sebuah perlombaan. “Ya.. keren kan..” nada bicaranya masih ibarat biasa, sangat dekat dan suka menciptakan beberapa lelucon.
“Tapi kenapa?” Tanya Michelle.
Kevin mengeluarkan kedua tangannya dari saku dan melipatny didada, “Hmm.. tentu ada alasan kan..”
“Apa alasannya? Kenapa loe nyulik Will? Salah ia apa?” Tanya Michelle lagi.
Kevin memandang Michelle lembut, “Michelle, terkadang kita harus berpura-pura tidak tau semoga selamat.. Loe ngerti kan maksud gue?”
Michelle mengerti, Kevin memeintanya untuk tetap membisu dan tidak ikut campur. Dia memandang tubuh Will.
“Michelle, loe udah masuk terlalu dalam. Makara gue mohon jangan melangkah lagi, segera mundur dan hidup ibarat biasa. Loe tau, gue ngga bisa ngeliat cewek manis kayak loe terluka..”
“Kevin, gue tiba kesini untuk membawa tubuh Will!!” Seru Michelle.
Kevin tak terkejut, malah terlihat kagum. “Wow, loe tau namanya..”
“Kevin, berhenti bercanda! Loe harus bawa Will pulang! Loe tau kan betapa besarnya gosip perihal penculikan Will! Apalagi loe udah ngebunuh dia..” Ucap Michelle.
Kevin memandang Will, “Sepertinya loe ngga akan ngebiarin semua ini berlalu begitu aja..” ia melirik Michelle, “Ya kan?”
“tentu aja! Loe bisa dipenjara alasannya ialah udah ngebunuh orang!!” seru Michelle.
Kevin tertawa kecil, “Ya, memang.. gue niscaya di penjara usang banget alasannya ialah udah ngebunuh orang dengan sengaja. Tapi itu kan kalau ada yang tau gue dalangnya, kalau ngga ada? Gue bebas kan?”
Jantung Michelle berdegup kencang, perasaannya mulai tidak enak. Kevin sudah mengancamnya. Dia memperat genggamannya pada pistol.
Perlahan Kevin melepas lipatan tangannya, tangan kanannya bergerak mengambil sesuatu dibalik bajunya. Ternyata senjata api laras pendek dengan peredam suara.
Michelle segera mengcungkan senjatanya kearah Kevin sebelum kalah langkah.
Mata Kevin membesar kagum, “Wow! Reflek yang bagus.. Loe bisa masuk ke kelompok penembak pribadi gue kalau loe mau..”
“Kevin! Gue ngga tau apa alasan loe menculik Will, tapi apa yang loe lakuin ini salah!!” Ucap Michelle berusaha menyadarkan Kevin.
“Loe mau tau alasannya?” Kevin memandang langit dan menjawab sebelum Michelle bicara. “Karena gue juga anak dari seorang pengusaha Jonathan Kim! Seharusnya nama gue ialah Kevin Kim..”
Dahi Michelle berkerut, “Apa??!”
“Dan loe tau semuanya.. Gue anak dari dari bokap sebelum ia nikah dengan nyokapnya. Dan loe tau, gue sama nyokap gue dibuang gitu aja sama dia. Setelah itu nyokap gue bunuh diri, dan tinggal gue yang harus hidup sendiri ditengah cacian dan makian orang-orang. Hingga jadinya gue berhasil ngebuka toko kaset. Hidup gue mulai teratur...” Cerita Kevin.
Semuanya mulai terlihat terang bagi Michelle, “Jadi alasannya ialah itu loe dengan praktis nerima gue untuk kerja di toko loe? Karena nasib kita sama??!!”
“Yup! Betul banget! Baik banget kan gue, woow..” Kevin tertawa manis. Pasti tak akan ada yang menyangka disa telah melaksanakan semua ini bila melihat wajahnya.
“Tapi Kevin, apa gunanya loe ngebunuh Will? Dia ngga tau apa-apa.” Ucap Michelle.
“Will memang ngga tau apa-apa.. Tapi bokapnya kan tau, so gue mau bikin bokapnya, atau bokep gue, ngerasain gimana harapannya hancur seketika!” ucap kevin.
Air mata Michelle menetes, ia sanggup mencicipi kepedihan yg dirasakan Kevin meskipun ia memamerkan senyum manisnya. “Kevin, kini udah selesai kan? Ngga ada gunanya loe buang Will kejurang..”
Kevin tertawa kecil, “Jadi loe belum ngerti?”
Michelle memandang Kevin tak mengerti.
“Will belum mati!” Ucap Kevin santai.
Michelle terkejut, “Hah?!!” ia memandang tubuh Will, terlihat ibarat mayat.
“Dan Michelle, gue rasa loe mau mati disini sama adek TIRI gue..” Kevin mengangkat pistolnya dan menarik pelatuknya.
Disaat yang bersamaan Michelle juga melaksanakan hal yang sama.
Dor!!! Terdengar letusan besar, dari kedua pistol.
“Ahkkk!!!” Michelle memegang perut sebelah kirinya yang tertembus peluru, darah mengalir deras dari luka itu.
“Ahkkk!!!” Kevin tak sempat memegang bahunya ketika dorongan peluru dari pistol Michelle mendorong tubuhnya kebelakang, ia tak bisa melawan gravitasi bumi hingga terjatuh ke jurang.
Michelle terjerembab ketanah, perutnya terasa sangat nyeri. Dia menyeret tubuhnya mendekati Will. Dengan tangan berlumuran darah ia memegang dada Will, ternyata benar jantungnya masih berdetak walaupun lemah. Nafasnya mulai terengah-engah, darah dari perutnya mengalir ibarat mata air. Kakinya mulai mati rasa. Dia segera mengeluarkan handphone Will dan mengaktifkannya sebelum ia kehilangan kesadarannya, ia mencari dikontak panggilan. Akhirnya ia menemukan kontak ibu Will. Segera ia memanggil kontak itu.
“Hallo! Will! Kamu dimana?” Ucap bunyi perempuan diseberang sana.
Michelle mengumpulkan semua suaranya yang tersisa, “Will sekarat.. segera datang!” ia meletakkan handphone Will di tanah, suaranya tak sanggup keluar lagi. Mereka tentu bisa menemukan Will melalui GPS dari handphone Will. Dia berbaring disebelah tubuh Will sambil menahan darah yang terus keluar dari perutnya. Dia memandang wajah Will yang hanya beberapa senti dari wajahnya. Dia tak takut mati, juga tidak murka ini harus terjadi. Dia senang bisa membantu Will, laki-laki yang dalam beberapa jam sanggup mencuri hatinya.
***
Semuanya terasa tenang. Perlahan terdengar sedikit kebisingan yang tak mengganggu. Udara segar terus mengalir dihidungnya. Nahkan ia bisa mendengarkan denyut jantungnya sendiri, sekelebat cahaya menerobos kecelah matanya. Michelle membuka matanya perlahan, pandangannya buram. Terlihat seorang laki-laki yang mendekat kesisinya, tapi ia tak tau itu siapa. Terdengar laki-laki itu berbicara, tapi tak terdengar jelas. Beberapa ketika kemudian, semua indranya sudah berfungsi baik. Dia sanggup melihat dengan terang bahwa laki-laki itu ialah ayahnya.
“Michelle, kau udah ngga apa-apa?” Ucap ayah Michelle cemas.
Michelle tak percaya meilhat ayahnya berbicara selembut itu padanya, ia mencoba untuk memberontak. Tapi ia tak bisa banyak bergerak alasannya ialah nyeri diperutnya. Ketika itu ia menyadari ia berada di rumah sakit.
“Michelle! Tenang! Papa tau kau masih murka sama papa.. tapi papa tiba kesini untuk meminta maaf atas segalanya. Papa berusaha untuk mencari kau sesudah kau kabur dari rumah, tapi gres beberapa bulan kemudian papa mengertahui dimana kau bekerja. Papa mencari kau ketempat kau kerja, ditoko kaset itu. bos kau memberi tahu papa alamat kontrakan kamu. Tapi kau malah kabur lagi ketika papa datang.. Papa mohon, maafin papa. Papa benar-benar menyesal..” Ucap ayah Michelle dengan linangan air mata.
Michelle teringat ucapan Will ketika mereka istirahat dibawah jembatan. Air matanya mengalir mengingat itu. tapi, dimana Will? “Will mana?” tanyanya pelan.
Dahi ayah Michelle berkerut, “Will? Cowok yang sama kau di dekat jurang itu? ia ada di ruang ICU juga. Dua atau tiga kamar dari sini...”
Michelle lega mendengar ucapan ayahnya, berarti Will masih hidup. Dia meraba perut sebelah kirinya. Masih teringat betapa sakitnya ketika peluru dari senjata api Kevin menembusnya, ia memandang ayahnya, “Kevin?”
Ayah Michelle tampak enggan menjawab, kemudian menggeleng pelan. Menandakan Kevin tidak selamat dari ketinggian tebing itu.
Michelle duka mendengar itu. Kevin mempunyai nasib yang sama dengannya.
Ayah Michelle memegang punggung tangan putrinya, “Michelle, papa ngga mau kau hidup sepreti ini lagi. Kamu mau kembali pulang bersama papa? Mama kau khawatir sekali dengan kamu, ia tidak pernah sekali pun melupakan kalau kau tidak ada dirumah..”
Mama? Michelle menarik tangannya, “Maksud papa tante Regina?”
Ayah Michelle mengangguk pelan, ia kembali menerima tatapan tajam dari putri semata wayangnya.
Michelle memalingkan wajahnya, ia masih belum bisa mendapatkan perlakuan ayahnya sesudah adik tirinya lahir. “Ngga perlu! Aku bisa mengurus hidup saya sendiri! Papa bisa urus anak gres papa itu!” ucapnya ketus.
“Michelle?!” ayah Michelle menatap Michelle, “Itu adik kamu, namanya Amara..”
“Aku ngga peeduli!!” Air mata Michelle mulai mengalir dari sudut matanya.
Ayah Michelle mengerti alasan perlakuan putrinya itu, “Papa ngerti kalau kau kecewa, tapi kau ngga pernah tau kan apa yang udah papa dan mama kau alami setelah...”
“Dia bukan MAMA AKU!!” Potong Michelle.
“Oke! Tante Regina!” Ucap ayahnya memperbaiki, “.. sesudah kau kabur dari rumah..” lanjutnya, “Tante Regina sangat duka dan merasa bersalah. Dia menangis setiap hari. Dia yang meminta papa untuk terus mencari kamu. Bahkan ia tidak memperhatikan anaknya sendiri!! Amara mulai sakit-sakitan ketika memasuki 1 tahun alasannya ialah tante Regina selalu stress memikirkan kamu! Dua bulan kemudian Amara meninggal!!!”
Michelle terkejut, ia memandang ayahnya tak percaya. “Apa?!”
Air mata ayah Michelle mulai menitik, “Iya Michelle, Amara meninggal dunia! Apa kau tidak bisa melihat itu sebagai bukti kalau kami memang menginginkan kau kembali? Papa mohon Michelle...”
Michelle merasa bersalah. Semua pikiran buruknya selama masa pelarian, membuatnya penuh dengan kebencian pada perempuan yang ia pikir ialah perusak kehidupannya. Dia tak menyangka kenyataan yang terjadi ibarat ini. Makara selama ini yang tersiksa bukan hanya dirinya, juga ayah dan ibu tirinya.
“Michelle, Papa dan tante Regina benar-benar ingin kau kembali. Apa kau tidak bisa memaafkan kami?” Tanya ayah Michelle.
“Pa..” Panggil Michelle pelan dalam isak tangisnya.
“Iya sayang..” ucap ayahnya lembut.
“Aku..” Michelle tercekik oleh kata-katanya sendiri, “Aku.. mau ketemu tante Regina...”
Ayahnya tersenyum senang mendengar ucapan Michelle sambil mengelus rambut putrinya, “Benar sayang?”
Michelle mengangguk, “Iya, Pa.. saya mau minta maaf untuk kepergian Amara, juga alasannya ialah saya selalu memanggil ia tante..”
Ayahnya mengecup dahinya, “Iya sayang, kita akan segera ketemu tante Regina...”
Michelle tak menyangka ayahnya akan berkata ibarat ini, “Maafin saya pa.. saya udah bikin papa susah..”
“Ngga apa-apa sayang, yang penting kini kau udah baik-baik aja. Itu yang terpenting!” Ucap ayah Michelle.
Dan inilah kenyataan. Tak ada yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dimasa depan. Michelle kembali kepada keluarganya. Dia menerima sambutan hangat dari ibu tirinya, Regina. Ternyata ibu tirinya sangat penyayang ibarat ibu kandungnya. Dia senang menjalani kehidupannya yang baru. Namun ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Dia tak sempat menemui Will ketika pulang dari rumah sakit, alasannya ialah tanpa ia ketahui keluarga pemuda bertubuh atletis itu membawanya keluar negeri untuk menjalani operasi patah tulang. Entah kapan ia bisa bertemu pemuda itu secara hidup, tapi ia sudah merasa senang telah membantunya.
***
“Michelle, ayo.. dagingnya udah masak nih..” Panggil Regina dari pekarangan rumah dengan senyum ramah yang tak pernah disadari Michelle.
Michelle yang duduk diteras rumah mengangguk dan segera menghampiri ayah dan ibu tirinya. Mereka mengadakan pesta BBQ kecil-kecilan untuk menyambut kepulangan dirinya kerumah meskipun sudah lewat sebulan. Dia melangkah perlahan menuju perkarangan sambil memegangi perut sebelah kirinya yang maish nyeri.
Regina menghampiri Michelle dan membantunya berjalan, “Hati-hati sayang.. Nanti lukanya berdarah lagi..”
Michelle tersenyum, “Iya,Ma..”
Regina memandang Michelle senang. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Mama kok nangis?” Tanya Michelle bingung.
Regina tersenyum sambil menggeleng, “Mama ngga nangis sayang, mama Cuma senang alasannya ialah kau manggil ‘MAMA’” ucapnya terharu.
Michelle merasa sangat bersalah telah melukai hati perempuan yang sangat lembut ini. Dia duduk dikursi disebelah Regina.
“Nahh.. ini dagingnya udah matang..” Ayah Michelle meletakkan sepiring besar daging-danging yang sudah ia panggang.
“Wahh.. sausnya mana nih?” Tanya Regina heran.
“Yahh.. masih dirumah, papa ambil dulu ya..” Ucap ayah Michelle.
“Eh.. ngga usah pa, biar saya aja..” Ucap Michelle sambil berdiri perlahan.
“Yakin sayang? Kamu kan masih sakit..” Ucap Regina cemas.
“Ngga apa-apa ma.. saya ambil dulu ya..” Michelle melangkah menuju pintu masuk.
Ketika itu sebuah kendaraan beroda empat berhenti didepan susukan rumah Michelle. Dia, Regina dan Ayahnya serentak memandang kearah kendaraan beroda empat itu dengan tatapan penasaran.
“Siapa ya?” Gumam Regina.
Pintu penumpang kendaraan beroda empat berwarna hitam itu terbuka, turun seorang pemuda menggunakan sweater coklat. Cowok itu bermata indah dan wajah bercahaya. Dia memandang Michelle dengan senyum manisnya, “Michelle..”
Michelle tak percaya dengan matanya sendiri, ia hanya bisa menatap pemuda itu tanpa bergerak. Air matanya menetes tanpa ia sadari, “Will?” ucapnya pelan.
Will melangkah cepat kearah Michelle. Dia memendang rindu yang sangat besar hingga tak bisa di bendungnya sendiri.
Michelle melaksanakan hal yang sama. Beberapa ketika kemudian ia sudah terbenam dalam pelukan Will. Air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Will memegang kedua pipi Michelle, matanya memperhatikan setiap sudut diwajah gadis itu. “Gue ngga percaya kini gue bener-bener nyentuh loe..” ibu jarinya menghapus air mata dipipi Michelle dengan lembut.
Michelle memandang kedua bola mata Will, “Gue kira loe ngga inget sama gue..”
“Ngga mungkin gue ngga inget sama orang yang sangat berarti dihidup gue.. Dan kini gue ngga mau ngelepasin orang itu lagi..” Jawab Will.
Michelle tak bisa menahan air mata senang dimatanya. Will memeluknya erat hingga ia sanggup mendengar denyut jantungnya.
Regina dan ayah Michelle senang melihat Michelle tersenyum dalam airmatanya. Tak ada yang sangat indah kecuali melihat kebahagian Michelle.
The End!!
Artikel terkait :
cerpen persahabatan
Puisi cinta
pantun cinta
KODE IKLAN 300x 250
Sekedar info saja, cerpen cinta ini diambil dari sebuah blog tetangga yang berisi kumpulan cerpen terbaru. Nah, eksklusif saja silahkan disimak cerpennya... cekidoot.
Cerpen cinta another love story
Michelle sudah berdiri di balik meja kasir sebuah toko kaset di sebuah mall selama berjam-jam dengan seragam berwarna abu-abu dan topi hitam menunggu pelanggan yang akan membeli kaset. Dia sedang menulis sesuatu di buku jurnalnya ketika seorang pemuda berjaket biru dengan garis merah dilengannya membawa sebuah kaset berjalan ke meja kecil didepan meja kasir. Dia sanggup melihat dari sudut matanya pemuda itu memasukkan kaset ke cd room dan menekan tombol play sesudah kasetnya masuk ke kepemutar, kemudian dengan sigap ia memasang earphone. Untuk sejenak pemuda itu hanya berdiam diri sambil mendengarkan lagu ditelinganya.Michelle menggantung ujung penanya di jari sambil memikirkan hal apa saja yang menurutnya menarik untuk ditulis di jurnal pribadinya itu. tak sengaja ia memandang wajah pemuda yang masih serius dengan musik ditelinganya. Wajah pemuda itu terlihat ibarat bercahaya. Hidung, mata, poni dan bibirnya terlihat sangat sempurna. Sempat terbesit dipikirannya betapa beruntung pemuda itu mempunyai wajah sempurna, dan bila dilihat tampaknya pemuda itu juga mempunyai kehidupan yang sempurna. Dia tersadar dari lamunannya ketika tangan pemuda itu bergerak membuka earphone ditelinganya, ia segera berpura-pura sibuk dengan jurnalnya. Dalam hati ia sangat malu alasannya ialah hampir tertangkap berair sedang memperhatikan pemuda itu.
Cowok itu meletakkan kaset itu diatas meja kasir dan mengeluarkan uang dari dompetnya.
Michelle segera berdiri dan menghitung harga kaset itu dengan lat pemindai barcode, ia memandang layar komputer dengan hati-hati. Dia masih merasa sedikit grogi. “Rp. 40.000..” ucapnya pelan, ia menghindari tatapan mata pemuda itu.
Cowok itu memperlihatkan uang Rp. 50.000 pada Michelle. Dia mencicipi kecacatan perilaku Michelle. Dia memandang bayangan wajahnya di beling transparan yang menjadi dinding toko kaset itu, memastikan tak ada yang absurd pada wajahnya. Namun tak ada apapun yang menciptakan wajahnya terlihat janggal.
Michelle segera membungkus kaset tadi dan memberikannya pada pemuda itu bersama uang kembalian. “Ini, terima kasih sudah berkunjung ketoko kami dan silahkan kembali lagi..” ucapnya pelan. Sekilas ia memandang kedua bola mata pemuda itu. bola matanya berwarna coklat muda, sangat mengagumkan.
Cowok itu tersenyum, “Thank’s..” ia mengambil kaset dan uang kembaliannya, kemudian segera melangkah keluar dari toko.
Michelle sempat memandangi pemuda itu untuk beberapa saat, kemudian ia kembali memandang jurnalnya. Entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang akan terjadi yang bekerjasama dengan pemuda itu, tapi ia berusaha membuang pikiran itu jauh-jauh.
“Jangan terlalu memperhatikan.. Nanti patah hati..” Goda Kevin, bos tempatnya bekerja sambil berlalu dengan senyuman khasnya.
Michelle hanya tersenyum tipis sambil menundukkan wajah.
Yap! Inilah hidupnya. Michelle Regina. Seorang gadis yang masih berusia 17 tahun yang sudah harus mencicipi beratnya berjuang demi menyambung hidup. Pada usia 11 ibunya meninggal alasannya ialah kanker. Wanita yang sangat tegar dan selalu menjadi ilham hidupnya. Tak usang kemudian ia mencicipi betapa kejamnya ibu tiri, bahkan ayahnya sudah mulai tak memperdulikan dirinya. Ketika adik tirinya lahir, ayahnya bahkan tidak segan-segan menyakitinya. Hingga jadinya ia tetapkan untuk melarikan diri ketika usianya masih 15 tahun. Oleh alasannya ialah itu ia tak bisa melanjutkan sekolahnya. Dia berjuang sendiri dengan tangan dan kakinya untuk menyambung hidup.
Michelle berjalan seorang diri diantara gelapnya malam. Jalanan belum terlalu sepi. Dia merapatkan jaketnya sambil memastikan sekeliling. Dingin terasa sangat menusuk kulit. Dia mempercepat langkahnya semoga segera hingga ke kontrakan kecil yang ia sewa dengan harga paling murah. Kondisi rumah itu hanya mempunyai dua ruangan kecil, potongan depan ia jadikan kamar dan dibelakang dapur. Meskipun begitu, ia bisa menyulap rumah itu menjadi rumah yang sangat nyaman. Dia tinggal di tempat kumuh dan lingkungan yang kurang baik. Selisih beberapa rumah dari kontrakannya ada tempat pelacuran yang selalu buka hingga pagi, bahkan ia pernah ditawari untuk bekerja disana.
Michelle membaringkan tubuhnya diatas kasur. Memandang langit-langit kamarnya. Tiba-tiba ia teringat wajah pemuda tadi, wajah yang ibarat bercahaya yang telah menarik perhtiannya. Dia gres menyadari kalau ia ialah remaja. Tapi apa yang harus ia lakukan?? Berlaku ibarat remaja lain yang menghabiskan uang di mall bersama teman-teman mereka, atau mempunyai kekasih tampan yang selalu mereka pamerkan kemana-mana? Sudah niscaya ia tak bisa melaksanakan itu semua. Hidupnya hanya bisa diisi oleh kerja keras untuk menyambung hidup. Rasanya ia tak berhak mendapatkan itu semua.
Tapi.. bayangan pemuda itu menciptakan hatinya bergetar. Apa yang terjadi?
***
Malam ini Michelle pulang lebih awal alasannya ialah bos tempatnya bekerja mempunyai program yang tak bisa ia lewatkan. Biasanya ia gres pulang dari toko kaset sekitar pukul 10 atau 11, tapi kini gres pukul 8. Dia senang bisa mempunyai waktu senggang malam ini, jadi ia bisa mampir kesebuah pasar malam yang tak jauh dari rumahnya. Meskipun tak mempunyai teman, paling tidak ia bisa merasa terhibur berada di tengah-tengah keramaian sambil menyaksikan banyak sekali pertunjukan. Beberapa kali ia mengelap air mata yang mulai membasahi pipinya ketika mengingat almarhum ibunya sering mengajaknya ke pasar malam dulu. Matanya terpaku pada sebungkus gulali yang dijual oleh seorang pedagang. Dia menyukai gulali, tapi bila ia membeli gulali itu bisa saja membuka kenangan-kenangan perihal ibu yang sangat mencintainya. Suasana membahagiakan itu cukup menyiksa batinnya, jadi ia tetapkan untuk pulang.
Dia menendang beberapa kerikil kecil yang tergeletak dijalan. Jalanan menuju rumahnya sangat sepi, menciptakan suasana hatinya semakin mellow. Tiba-tiba terdengar bunyi kendaraan beroda empat yang direm secara paksa tak jauh dari tempatnya berjalan, ia melirik kendaraan beroda empat itu dari sudut matanya. Tampak beberapa laki-laki bertubuh besar keluar dari kendaraan beroda empat sambil menyeret seorang laki-laki muda yang menggunakan sweater berwarna abu-abu. Dia tak bisa melihat laki-laki yang diseret itu dengan jelas. Dia hanya menunduk berpura-pura tak melihat apapun. Karena disekitar rumahnya bukan hal yang absurd bila terjadi tindak kriminal.
“Aaaww!!” rintih Michelle ketika salah seorang laki-laki besar itu menabraknya. Dia memegangi bahunya yang nyeri.
Pria itu memandang Michelle dengan muka garangnya, “Jangan menutupi jalan!!”
Michelle segera menyingkir dari jalan semoga mereka bisa lewat.
“Lepasin!!!” seru laki-laki yang diseret itu.
Michelle mengangkat wajahnya untuk melihat laki-laki itu. Meskipun gelap, tapi ia bisa mengenali laki-laki itu dengan praktis dari hidung dan matanya. Dia terkejut ketika menyadari yang sedang diseret itu ialah pemuda yang tempo hari berbelanja di toko kasetnya.
Cowok yang tak bisa berkutik alasannya ialah dipegangi oleh dua orang bertubuh besar dikanan dan kirinya itu juga mengenali Michelle, ia berteriak meminta pertolongan. “Heii!! Loe yang di toko kaset itu kan?? Please! Tolong gue!!!”
Michelle ingin sekali bisa menolong laki-laki itu, tapi apa yang bisa ia lakukan. Dia ketakutan. Tiba-tiba seorang laki-laki yang paling belakang menjambak rambutnya dengan kasar. “AAAwww!!!!” jeritnya.
Pria bertubuh besar itu mencengkeram rambut Michelle dengan kuat, kemudian berbisik ditelinga gadis itu. “Anggap loe ngga ngeliat apapun malam ini kalau loe masih mau hidup!! NGERTI LOE?!!” ancamnya.
Michelle kesakitan. Tak tau apa yang harus ia perbuat, ia mengangguk perlahan. “I.. iya..”
“Kalalu loe hingga ngelapor ke polisi, loe bakalan gue buat kayak pemuda yang didepan itu!!!” laki-laki itu menyentakan tanganya hingga tubuh Michelle yang kecil terhempas ke aspal.
DUUG!!! Rasa pedih menjalar dikepala Michelle untuk beberapa saat, kemudian menghilang. Secercah cahaya masuk kecelah matanya, ingatan-ingatan tak mengenakan itu kembali muncul. Senyum ibunya, kasih sayang yang selalu ia rasakan ketika itu. dan perlakuan tidak adil dari ayahnya.
“Chel! Chel! Banguun!” Ucap sebuah bunyi lembut yang tak asing ditelinga Michelle.
Michelle membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sangat pusing, semuanya terasa berputar. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk membiasakan matanya dengan cahaya terang. Setelah beberapa ketika gres ia bisa melihat dengan terang siapa yang memanggil namanya, Finda, seorang gadis yang tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya.
“Loe kenapa Chelle?? Kok bisa pingsan di jalanan gini??” Tanya Finda cemas.
Setelah mendengar ucapan Finda, Michelle gres mengingat bencana terakhir. Ternyata ia pingsan semalam. Dahinya terluka, darah kering masih terpapar terang disana. Dia belum punya cukup tenaga untuk menceritkannya pada Finda.
“Yaudah, loe bangun dulu.. gue anter kerumah ya.. Loe istirahat aja dulu..” Ucap Finda sambil membantu Michelle bangkit.
Sesampai dirumah. Michelle segera berbaring ditempat tidurnya. Dia mengingat pemuda yang telah merasuki pikirannya selama berhari-hari itu. bagaimana nasibnya sekarang.
“Ohh.. jadi gitu. Hati-hati loe Chel, mereka niscaya orang suruhan yang ditugasin untuk ngabisin tuh cowok. Mending jangan cari gara-gara dengan orang yang kayak gitu. Entar malah loe yang kena batunya.” Ucap Finda sesudah mendengar dongeng Michelle ketika ia gres selesai mengobati luka didahi gadis itu.
“Tapi gue khawatir banget dengan pemuda itu..” Ucap Michelle.
Finda memandang Michelle tak mengerti, “Chell.. belum apa-apa aja loe udah kayak gini, gimana kalau loe sampe dibunuh sama mereka?? Emang loe kenal sama pemuda itu??”
Michelle menggeleng, “Ngga.. tapi ia pernah belanja di toko kaset tempat gue kerja.”
“Udah deh, Chel.. Jangan cari masalah! Yaudah, gue balik dulu ya. Takut nyokap nyariin.. loe ngga apa-apa kan gue tinggal??” Tanya Finda.
Michelle tersenyum tipis sambil mengengguk, “Iya, ngga apa-apa.. Thank’s ya..”
Finda bangun dan keluar dari rumah kontrakan Michelle.
Walaupun Finda memintanya untuk tidak memikirkan perihal pemuda itu, tapi pikirannya tak bisa berhenti membayangkan wajah panik pemuda itu semalam. Dia merasa sangat bersalah alasannya ialah tak bisa melaksanakan apapun. Dia bangun perlahan dan duduk di pinggir kasur, menciptakan daftar kecil diotaknya perihal apa saja yang mungkin terjadi pada pemuda itu.
Benturan dikepala benar-benar membuatnya tak bisa berlama-lama menegakkan kepala selama beberapa hari. Hal itu membuatnya terpaksa mengambil cuti untuk sementara waktu dari tempat kerjanya. Dihari ketiga, ia sudah bisa beraktifitas ibarat biasa meskipun pusing dikepalanya belum hilang seutuhnya.
Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan dari luar.
Reflek kepala Michelle eksklusif memandang kearah pintu. Dalam hati ia bertanya siapa yang datang, ia beridiri perlahan dan berjalan kepintu tanpa mengeluarkan suara.
“Michelle.. ada yang mau ketemu kau nih...” Ucap bunyi riang dari luar, Michelle tau itu ialah bunyi ibu pemilik kontrakan yang selalu ceria, Bu Darni.
Langkah Michelle terhenti sejengkal sebelum mendekati pintu. Siapa yang mencarinya? Itu lah yang sedang bergulat dipikirannya. Dengan sangat hati-hati ia mengintip dijendela kamarnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi dan sedikit gemuk berdiri didepan pintu bersama Bu Darni. Dia segera mengbungkam mulutnya dengan tangan ketika teriakan kaget akan keluar dari mulutnya. Dia melangkah mundur sepelan mungkin menjauhi pintu. Pikirannya kacau. Dia tak tau harus melaksanakan apa. Kenangan-kenangan jelek di masa kemudian kembali muncul dibenaknya. Masih ingat terang dipikirannya bagaimana cara laki-laki tinggi dan sedikit gemuk itu menghukumnya hanya alasannya ialah ia tidak terlihat senang ketika adik tirinya lahir, ia nyaris mati alasannya ialah ditenggelamkan di bathup. Tubuhnya bergetar, ia sangat panik! Dia benar-benar tak mau bertemu laki-laki yang secara biologis itu ialah ayahnya. Jalan satu-satunya ialah kabur secepatnya. Dia segera menjangkau tas kecil yang tergantung di dekat kasurnya, kemudian dengan cepat ia memasukkan baju secukupnya kedalamnya. Setelah mengambil dompet ia segera masuk kedapur untuk keluar dari pintu belakang sebelum Bu Darni berinisiatif masuk menggunakan kunci cadangan. Dia membuka pintu belakang perlahan, tak terlihat siapapun disana. Dengan cepat ia keluar dan menjauh dari rumahnya secepat mungkin. Dia sudah merasa cukup tersiksa selama ini bersma ayahnya, dan ia tak mau mengalaminya lagi. Tubuhnya masih bergetar ketika ia duduk di halte bus, walaupun ia tak berniat naik bus. Dia masih tak mengerti bagaimana ayahnya bisa mengetahui tempat tinggalnya dan kenapa sesudah beberapa tahun ia pergi dari rumah laki-laki itu malah mencarinya. Sekarang selain kenangan masa kemudian yang menyesakkan dadanya, pertunya juga menyiksanya alasannya ialah ia lupa semenjak kemarin belum makan apa-apa. Dia segera mencari warung untuk mengisi perutnya sebelum pingsan alasannya ialah kelaparan.
Setelah perutnya terisi, pikirannya kembali jernih. Dia memikirkan langkah selanjutnya yang akan ia lakukan. Tidak mungkin untuk sementara waktu ini ia kembali kekontrakan.
“Telah dilaporkan menghilang, seorang anak pengusaha ternama di Indonesia, William Kim, pada dua hari yang lalu...” ucap pembaca gosip di sebuah tv kecil yang terdapat disudut warung itu.
Spontan Michelle memandang ke layar tv. Matanya melotot melihat foto yang terpampang di layar tv. Itu ialah foto pemuda yang semalam diseret oleh orang-orang itu sedang tertawa sambil memegang kamera. dan ciri-ciri yang disebutkan pun sama persis.
“.. ketika menghilang ia mengenakan sweater abu-abu dan jeans berwarna hitam...”
Michelle semakin panik. Ternyata pemuda yang berjulukan William itu belum pulang semenjak bencana malam itu. apa yang terjadi?? Pikirannya kembali berkecamuk. Dia segera meninggalkan warung itu sebelum ada orang yang menyadari kepanikannya. Dia tak tau harus melaksanakan apa dan harus pergi kemana. jadi ia tetapkan untuk mengunjungi makam ibunya.
Dia berjalan diantara makam-makam yang tak terawat. Begitu juga makam ibunya. Sudah bertahun-tahun ia tak berkunjung kemari. Dia membersihkan makam itu dengan tangan, sebersih yang ia bisa. Setelah itu ia duduk di pinggir makam ibunya, ia memandangi nisan ibunya yang sudah mulai memudar. Dalam hati ia menjerit dan menceritakan semua kesedihannya. Air mata pun ikut menemaninya dalam hening. Dia mulai terisak sambil menghapus air matanya.
“Michelle ngga tau harus ngelakuin apa, Ma..” ucapnya lirih. “Bantu Michelle ma.. Michelle ngga bisa menghadapi ini sendiri.” Dia mulai terisak lagi, “Maafin Michelle alasannya ialah ngga bisa jadi anak yang bisa ngebanggain mama.. Michelle takut..” ia karam dalam tamgis beberapa saat, “Apa yang harus Michelle lakuin ma??”
“Loe harus tolong gue..” Ucap sebuah bunyi di sisi lain makam ibu Michelle.
Michelle memandang orang yang mempunyai bunyi itu, dan betapa terkejutnya ia melihat William duduk di hadapannya. Dia terlonjak kebelakang dan hampir terjerembab bila tangannya tidak dengan sigap menahan tubuhnya. Matanya melotot memandang pemuda yang gres saja ia lihat gosip hilangnya di TV. “L.. loe??!!!”
William pun tampak terkejut, ia segera melihat tangan dan tubuhnya. Lalu kembali memandang Michelle, “Loe bisa ngeliat gue??”
“Loe masih hidup??” Ucap Michelle terbata-bata.
William berdiri dan hendak menghampiri michelle yang masih terlihat shock, “Loe bisa ngeliat gue?!” ulangnya.
Michelle berdiri dan segera menjaga jarak dengan William, “Jangan mendekat!!!” serunya.
Langkah William terhenti, ia memandang Michelle yang masih ketakutan dan bingung. “Gue tau loe niscaya kaget ngeliat gue, tapi please! Loe harus nolongin gue!” pintanya.
Nafas Michelle terasa sesak, “Loe masih hidup? Kenapa loe ngga pulang ketempat keluarga loe? Mereka semua nyariin loe..”
“iiya, gur tau..” William melangkah mendekati Michelle.
“Stop! Jangan deketin gue!!!” Michele segera mundur, tangan kanannya terulur kedepan aba-aba menalarang William untuk maju.
“Oke! Gue ngga akan ngedekatin loe!” Ucap William, “Gue Cuma mau minta pertolongan loe!”
“pertolongan gue? Buat apa? Loe tinggal pulang aja kan kerumah loe, semua orang niscaya ngga akan ribut.” Ucap Michelle.
“Gue udah pulang kerumah gue! Gue udah pergi kekampus! Gue udah pergi kemana pun tempat dimana orang selalu mondar-mandir. Tapi ngga ada satu pun dari mereka yang ngeliat gue!! Dengar bunyi gue! Atau pun ngerasain sentuhan gue!!!!” Jelas William frustasi.
Michelle terkejut mendengar ucapan William, “Apa?!”
“Iya.. gue kaget banget loe bisa ngeliat dan denger bunyi gue tadi! Please! Gue mohon bantu gue! Udah dua hari keluarga gue khawatir nyariin gue! Tapi mereka ngga tau keberadaan gue! Please! Gue mohon...” bunyi William terdengar memelas.
Michelle masih tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, “Jadi maksud loe, loe udah meninggal?”
William menunduk, kemudian mamandang Michelle lemah. Dia mengangguk pelan, “Gue rasa...”
Michelle semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi, “Tunggu, berarti loe ini hantu?!”
“Itu nggak penting! Gue butuh tunjangan loe untuk nemuin tubuh gue! Please! Nyokap gue khawatir banget.. ia ngga bisa melaksanakan apapun kecuali nangis alasannya ialah gue belum ditemuin..” Ucap William lagi.
Michelle berusaha mencerna bencana itu dengan pikiran jernih, tapi begitu banyak kejutan hari ini yang membuatnya panik.
“Gue mohon! Cuma loe impian gue.. walaupun nyokap gue ngga ngeliat gue pulang dengan selamat, tapi paling ngga ia bisa ngeliat tubuh gue. Dia ngga akan duka mikirin gue yang menghilang...” ucap William meyakinkan Michelle.
Michelle memandang William dengan wajah menyesal, “Sorry, gue ngga bisa ngebantuin loe. Loe tiba sama orang yang salah...” ia memperbaiki sandangan tasnya, kemudian berjalan pergi.
“Heiii! Jangan pergi!” William mengikuti Michelle. “Please tolong gue! Cuma loe yang bisa ngebantuin gue!”
Michelle terus berjalan tanpa menggubris ucapan-ucapan William, meskipun hatinya sangat menyesal. Sepanjang jalan pemuda itu tak henti-hentinya memohon semoga ia mau manolongnya. Tapi ia hanya diam. Dan ternyata memang tak ada satu orang pun yang mendengar ucapan William kecuali dirinya.
“Please!! Andai loe jadi gue, apa loe bakal biarin nyokap loe duka setiap hari alasannya ialah mengira loe menghilang...” Ucap William dengan nada memelas.
Michelle tergugah alasannya ialah ucapan William barusan, ia berhenti melangkah dan memikirkannya.
“Itu nyokap gue!” Ucap William sambil menunjuk layar tv yang terdapat pada sebuah warung dengan tatapan matanya.
Michelle memandang layar tv. Tampak seorang ibu-ibu yang masih bagus terawat menangis didepan semua media yang meliput.
“Saya tidak butuh apapun kecuali putra saya, Will!! Tolong kembalikan dia!!” ucap ibu William dengan linangan air matanya.
Michelle terdiam, tak tau apa yang harus ia lakukan. Dia terkejut melihat William tiba-tiba berlutut dihadapannya. Dia melihat kanan kiri, tapi tak ada yang melihat apa yang sedang dilakukan pemuda itu. “Heii..” ucapnya pelan, berharap tak ada yang mendengarnya.
William berdiri dengan satu lututnya dihadapan Michelle, kepalanya tertunduk. “Gue mohon!”
Hati Michelle luluh melihat keteguhan William. Dia teringat almarhum ibunya, ia juga niscaya tak tega bila melihat ibu yang dicintainya menangis cemas ibarat itu.
William mengangkat wajahnya memandang Michelle, “Apa gue perlu nyium kaki loe??”
Michelle menggeleng pelan, “Oke, gue bantu loe..”
Wajah William eksklusif berseri, ia segera berdiri dan hampir memeluk Michelle. Tapi ia sadar kalau tubuhnya sudah tak sepadat dulu hingga bisa memeluk seseorang. Dia tak tau harus bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihnya, “Makasih banget...”
Michelle mengangguk sambil tersenyum tipis, dalam hati ia bertanya-tanya apakah ia bisa membantu William.
“Hmm.. nama loe siapa?” Tanya William sesudah cukup usang hening ketika ia dan Michelle duduk disebuah taman permainan bawah umur yang sudah usang tidak digunakan.
Michelle yang duduk sambil memeluk lututnya dibawah sebuah jembatan gantung memandang William, “Michelle.. dan nama loe William kan?”
William tersenyum tipis, ia tak terkejut Michelle mengetahui namanya. Karena semenjak tadi pagi fotonya sudah tersebar dilayar tv, “Ya.. loe cukup panggil gue Will...”
Michelle mengangguk, kemudian keadaan hening lagi.
Akhirnya Will, memulai pembicaraan yang serius. “Apa loe takut ada didekat gue?”
Michelle memandang Will serius, “Tadinya iya..”
“Sekarang?” Tanya Will sedikit penasaran.
Michelle menggeleng, “Ngga lagi. Karena loe ngga kayak hantu yang ada dicerita fiksi. Loe ngga berdarah, ngga ketawa yang nyeremin..” ia tertawa kecil ketika menyampaikan itu.
Will tersenyum, “Ya, gue emang ngga kayak gitu..”
“Oh iya, malam itu. orang-orang itu bawa loe kemana?” Tanya Michelle.
Will mencoba mengingat, “Yang jelas, tempatnya pengap. Disekeliling tempat itu ada air. sekitar 5 menit dari jalan tempat kita ketemu. Gue ngga bisa ngeliat terang alasannya ialah waktu itu gelap banget!”
“loe diapain sama mereka?” Tanya Michelle hati-hati.
Will menatap kedua mata Michelle, terlihat kepedihan dimatanya. “seinget gue, begitu samapai disana mereka eksklusif nutup mata gue pake kain. Dan gue diseret lagi ngga tau kemana. Gue udah berusaha untuk ngebuka epilog mata itu, tapi tangan gue ngga bisa digerakin. Dua orang megangin tangan gue kenceng banget! Ngga usang kemudian mereka mendorong gue dan gue jatoh. Setelah itu gue ngga tau apa-apa lagi. Waktu gue sadar, gue ada kamar gue. Tapi ngga ada seorang pun yang menyadari kehadiran gue.” Jelasnya.
“Dan jatuh itu yang menimbulkan loe meninggal?” Tanya Michelle memperjelas.
“Gue rasa..” Ucap Will.
“Apa loe kenal siapa mereka?” Tanya Michelle lagi.
“Sama sekali ngga. Tiba-tiba aja mereka muncul waktu gue sedang dalam perjalan pulang dari tempat kursus musik, mereka eksklusif nyeret gue masuk kemobil.” Jelas Will lagi.
Michelle memikirkan semua informasi dari Will, mencoba menemukan petunjuk dari informasi-informasi itu. tiba-tiba ia teringat sesuatu, “tempat yang disekitarnya air?” gumamnya sambil mengingat.
Will memperhatikan Michelle.
“Apa tempat yang loe maksud itu kayak gedung renta yang disekitarnya danau?” Tanya Michelle.
Will mencoba mengingat, “Gue gak tau niscaya apa disekitarnya danau atau kolam, atau apapun itu. tapi gedungnya emang keliatan renta banget!”
“Kayaknya gue tau tempat yang loe maksud! Ayo!” Michelle segera berdiri dan melangkah cepat menuju tempat yang dimaksud Will itu.
Will segera mengikuti Michelle. Dia benar-benar berharap pada tunjangan gadis berambut panjang itu.
***
Michelle mengendap-endap dibalik pohon besar sambil memperhatikan sebuah gedung renta yang tidak mengecewakan jauh dari tempatnya berdiri, Will tak perlu repot-repot bersembunyi ibarat dirinya.
“Apa gedung itu yang loe maksud?” Tanya Michelle setengah berbisik.
Will memperhatikan gedung itu, disekitarnya memang terdapat danau. “Iya, gue yakin ini gedungnya..”
Angin lembut meniup rambut Michelle yang dibiarkan lepas, bekas perban dikepalanya masih terlihat bersih. “Gue harus masuk untuk ngeliat apa ada petunjuk perihal tubuh loe..”
“Maksud loe, kita?” Will menjelaskan maksudnya.
Michelle memandang Will sesaat, “Oke, kita harus masuk untuk ngeliat apa ada petunjuk perihal tubuh loe..” ulangnya.
Will tersenyum tipis, “Oke, kita masuk sekarang..”
Michelle melangkah keluar dari balik pohon dan melangkah pelan kearah gedung. Dia berusaha terlihat biasa saja semoga tidak ada yang curiga, walaupun tak ada satu orang pun yang terlihat berada disekitarnya. Will berjalan disisinya dengan impian yang membumbung tinggi.
Gedung itu sama sekali tak ada yang menjaga atau gejala ada orang yang pernah kesana. Hampir disetiap permukaan dinding potongan luar penuh dengan coretan cat pilox dan arang. Kondisi gedung itu juga tak memungkinkan bila ada yang tinggal disana. Mereka berhenti didepan gedung sambil melihat situasi.
“sepi banget! Kayaknya ngga ada orang..” Ucap Michelle.
“Jangan terlalu cepat mennyimpulkan.. kita belum tau apa yang tersembunyi didalamnya...” Ucap Will mengingatkan.
Michelle mengangguk, ia membetulkan posisi tas dan melangkah perlahan memasuki gedung yang pintunya sudah tidak terang ibarat apa bentuknya. Tanpa mengeluarkan bunyi ia melewati pintu. Lantai didalam gedung dipenuhi dedaunan kering yang terbawa angin dari depan gedung. Suasana didalam gedung terasa sedikit mencekam. Kondisi diruang pertama dan kedua sama, tak ada gejala ada orang disana.
“Diruangan ini mata gue ditutup dan diseret ngga tau kearah mana...” Ucap Will ketika mereka masuk ke ruang ketiga.
Michelle berhenti sejenak memperhatikan sekitar. Ruangan itu terlihat biasa saja, masih dengan sampah dedaunan kering yang acak-acakan dilantai. Tapi tidak sebanyak di ruangan sebelumnya. Matanya melihat sesuatu yang terselip diantara dedaunan. Hati-hati ia menyibakkan dedaunan itu dan menemukan sebuah handphone berwarna hitam dengan sedikit gores dipinggirnya.
“Handphone gue!” seru Will.
“Handphone loe mati..” Ucap Michelle, kemudian memandang Will.
“Emang selalu gue matiin waktu kursus.. gue belum sempat ngaktifin lagi alasannya ialah mereka keburu dateng. Mungkin handphone gue jatoh waktu mereka ngedorong gue disini..” Jelas Will.
“Hei!!” seru seseorang di belakang Michelle.
Michelle terkejut dan eksklusif memandang kebelakang, ia terkejut melihat seorang laki-laki bertubuh besar berdiri di pintu masuk.
“Lari!!!” Teriak Will panik.
Michelle segera berlari kedalam gedung untuk menghindari orang tadi.
“HEI! Jangan lari loe!!!!” laki-laki tadi segera mengejar Michelle.
Michelle berlari sekencang mungkin, masuk ke ruangan satu dan lainnya. Dalam hati ia berharap tidak ada laki-laki besar lainnya didalam gedung. Dia sangat panik.
“Michelle! Di balik kardus-kardus itu!” Seru Will sambil menunjuk tumpukan kardus disudut ruangan.
Michelle tak sanggup berlari lagi, ia mengikuti saran Will dan segera bersembunyi dibalik kardus itu. nafasnya terengah-engah. Dia duduk dibelakang tumpukan kardus itu sambil mengatur nafas dan memasang pendengarannya dengan baik.
“Dia kesini! Jangan bersuara!” Ucap Will dari pintu masuk ruangan itu.
Michelle eksklusif menahan dirinya semoga tidak mengeluarkan bunyi sedikit pun.
Tak usang terdengar bunyi langkah berat memasuki ruangan itu. jantung Michelle berdegup kencang, ia benar-benar panik. Dia menutup verbal dan memejamkan matanya. Suasana hening sejenak, kemudian terdengar langkah berat itu mendekati tempatnya bersembunyi. Tiba-tiba terdengar bunyi musik yang ternyata berasal dari handphone laki-laki itu, ia hampir saja berteriak alasannya ialah kaget.
Pria itu segera mengangkat panggilan di handphone-nya, “Hallo bos..” ia membisu sejenak, “Tenang bos, ngga ada yang tau perihal anak itu... hening bos, anak itu masih berada di dalam lubang itu. Iya, bos.. Besok akan segera saya pindahkan ke tebing didekat gedung ini.. Lapor bos, ada penyusup ke gedung ini.. Tapi akan segera saya bereskan! Baik..” dan pembiacaraan itu selesai. Terdengar langkah berat itu menjauh pergi.
“Dia udah pergi.” Ucap Will tak usang kemudian.
Michelle menghela nafas lega sambil mengurut dadanya. Dia bangun perlahan sambil memperhatikan sekitar, memang sudah tidak ada laki-laki tadi. “Kita harus segera pergi dari sini!” ucapnya pelan.
Will mengangguk, “Ayo!”
Ketika hendak melangkah keluar dari belakang tumpukan kardus itu, tangannya tak sengaja menyenggol sebuah kardus yang menimbulkan tutupnya terbuka. Dia terkejut melihat sebuah senjata api laras pendek tergeletak di dalam kardus diatas daun-daun kering.
“Ini... ganja..” Ucap Will mengenali daun itu.
“Hah?” Michelle memandang Will tak percaya. Dia kini sedang berhadapan dengan pengedar ganja yang semenjak beberapa bulan kemudian mulai dibicarakan oleh tetangga dan orang-orang disekitar rumahnya. “Ayo pergi!” ia melangkah menuju pintu.
“Tunggu! loe niscaya butuh ini.” Will menunjuk senjata api tadi.
Michelle memandang Will tak mengerti, “pistol? Buat apa?”
“Michelle! Salah satu dari mereka udah ngeliat loe ada ditempat mereka, ngga mungkin mereka ngebiarin loe gitu aja. Loe butuh proteksi diri..” Ucap Will mengingatkan.
Michelle mengerti maksud Will dan sepakat akan hal itu, ia segera mengambil senjata api itu dan memasukkannya kedalam tas. “Kita pergi sekarang!”
“Ayo, lewat jendela! Loe ngga mungkin keluar lewat depan lagi.” Ucap Will sambil menunjuk jendela yang tepat berada dihadapan pintu tempat mereka berdiri.
Michelle mengangguk, ia segera melangkah kejendela, kemudian membuka jendela perlahan. Untung jendela itu tidak macet atau sebagainya, namun jendela itu tidak bisa terbuka lebar. Dia menjulurkan kakinya keluar dan berusaha menyelipkan tubuhnya secepat mungkin. Tiba-tiba ia medengar langkah berat tadi mendekat.
“Cepat! Dia balik lagi!” seru Will.
Ucapan Will menciptakan Michelle semakin tegang, ia berusaha sekuat tenaga mendorong tubuhnya keluar melalui jendela. Akhirnya ia berhasil keluar dan segera berlari tepat ketika laki-laki besar tadi melihatnya berada keluar dari jendela.
“Woooi!! Berhenti LOE!” seru laki-laki tadi.
“Ayo Michelle! Jangan berhenti! Jangan liat kebelakang!” Ucap Will.
Michelle terus berlari. Terdengar bunyi tembakan dari gedung tadi. Beruntung peluru-peluru itu tidak mengenainya, hanya sempat nyaris melukai tubuhnya bila ia tidak terpeleset dan terjatuh sesaat hingga peluru itu mengenai pohon besar di sebelahnya. Dia tak membuangkan waktu untuk berlari lagi.
Tanpa disadari ia sudah berlari hingga ke jalan dimana ia melihat Will diseret oleh orang bertubuh besar itu, yang berarti dekat dengan rumah kontrakannya. Dia berhenti sejenak untuk menghela nafas sambil memandang kebelakang, laki-laki bertubuh besar tadi tak terlihat lagi.
“Michelle! Michelle!” Panggil seseorang dari arah belakang Michelle.
Michelle memandang kearah belakang, matanya membesar melihat seorang laki-laki yang tadi pagi membuatnya lari dari kontrakan.
“Itu siapa?” Tanya Will heran.
“Bokap gue!” Ucap Michelle pelan, kemudian eksklusif berlari melarikan diri lagi.
“Lho, kenapa loe kabur?” Will mengikuti Michelle.
***
“Oh.. jadi gitu?” Ucap Will sesudah mendengar alasan Michelle kenapa kabur dari ayahnya tadi.
Michelle menunduk memandangi jemarinya. Dia dan Will berada dibawah sebuah terowongan yang sering ia datangi ketika merasa tak mempunyai tempat untuk sendiri. Hari sudah gelap, hujan turun perlahan membasahi bumi. Dia memandangi rintik-rintik hujan yang turun semakin deras sambil memeluk kedua kakinya. Udara malam yang cuek mulai menusuk kulitnya. Berkali-kali ia merapatkan jaket.
“Tapi kenapa loe kabur? Mungkin aja bokap loe dateng untuk minta maaf alasannya ialah ia udah menyadari kesalahannya atau mau memberikan hal penting lainnya..” Ucap Will.
Michelle memandang Will, “Hmm.. kemungkinan itu Cuma 5% akan terjadi..” ucapnya, “Loe ngga pernah tau gimana ia udah nyakitin gue. Bukan hanya hati gue. Tapi seluruh masa depan gue..”
“Michelle, 5% tetap saja peluang..” Ucap Will.
“5% itu sangat kecil! Gue ngga mau mengambil resiko hanya untuk 5%..” Ucap Michelle.
“Bukan hanya 5%.. Tapi kau masih mempunyai 5% kan..” Ucap Will. Secara tidak eksklusif ia ingin memberi motivasi pada gadis muda itu.
Michelle senang mendengar ucapan Will, paling tidak ada yang menghibur hatinya ketika ini.
“Umur loe berapa?” Tanya Will.
“17.. kenapa?” Tanya Michelle penasaran.
Will agak terkejut mendengar tanggapan Michelle, “Waktu gue ketemua loe di toko kaset sekitar jam 10 pagi, seharusnya jam segitu loe ada di sekolah kan?” Tanyanya.
Michelle mengerti maksud Will, “Hmm.. memang seharusnya begitu. Tapi bagaimana gue bisa sekolah kalau setiap hari gue harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri?”
“Jadi, sesudah loe kabur, loe ngga tinggal sama sauadra atau siapa gitu?” Tanya Will lagi.
“Ngga, gue ngga punya siapa-siapa selain nyokap bokap gue. Gue ngga kenal siapa pun yang bisa menolong gue. Setelah kabur dari rumah, gue berusaha mati-matian melanjutkan hidup sendirian. Setahun sebelum gue dapet kerja tetap dan bisa nyewa kontrakan, gue tidur di mana aja. Gue kerja apa aja. Dan suatu hari ketika semuanya terlalu berat, gue hampir..” Michelle menahan kata-katanya.
Will menunggu kata-kata selanjutnya, ia memposisikan dirinya sebagai pendengar yang baik. Dia bisa melihat kedua bola mata Michelle berkaca-kaca.
Michelle menyibakan poninya yang menutupi wajah, kemudian memandang Will dengan wajah tegarnya. “Gue hampir termakan untuk menjadi pelacur. Karena gua ngga bisa ngelakuin apapun selain menjual diri.”
Will tampak tak percaya, ia memandang Michelle dari atas kebawah. “Maksud loe, loe udah ngga....” Dia tak melanjutkan ucapannya.
“Tentu aja masih!” Seru Michelle, “Gue bilang HAMPIR!!”
Will lega mendengar itu, ia kembali membisu dan mendengarkan.
“Tapi ingatan perihal almarhum nyokap menyadarkan gue. Kalau gue masih punya tangan, gue masih punya kaki.. So, gue bisa berusaha dengan cara yang baik. Gue ngga mau suatu ketika orang-orang ingat perihal gue sebagai pelacur yang udah menghancurkan rumah tangganya, atau lebih jelek dari itu. dengan perjuangan gue, jadinya gue dapet pekerjaan di toko kaset itu..” Cerita Michelle, sekaligus mengklarifikasi ucapannya tadi.
Will mengangguk mengerti. Dia memandang Michelle kagum, tak menyangka gadis semuda itu telah mengalami hidup seberat itu. sedangkan ia tidak pernah merasa menderita seumur hidupnya. “Loe tau, kini umur loe masih 17. Tapi loe udah ngalamin hal yang seharusnya loe rasain mungkin sesudah umur 25. Gue salut loe bisa melewati ini semua.”
Michelle tersenyum tipis. Tak tau harus tersanjung atau duka manyadari kehidupannya yang menyedihkan.
“Loe tau, semenjak lahir. Gue ngga pernah kekurangan apapun. Dan gue bukan orang yang selalu meminta pada orang renta walaupun gue bisa. Sejak kecil nenek gue selalu mengajarkan untuk berusaha sendiri, tapi sekeras apapun gue berusaha, gue tetep aja menggunakan apa yang udah ortu gue kasih. Tapi gue ngga pernah ngerasa semua itu salah, alasannya ialah gue anak mereka dan masuk akal mereka memenuhi kebutuhan gue. Teman-teman gue juga ngelakuin itu, jadi kenapa gua ngga? Tapi, sesudah gue ketemu loe. Walaupun kondisi gue bukan sebagai orang hidup, gue ngerasa malu banget! Gue malu pada diri gue sendiri. Bulan depan gue pas 19 tahun, tapi apa yang idah gue perbuat untuk diri gue sendiri? Ngga ada! Sedangkan loe yang lebih muda dari gue udah bisa menghidupi diri loe sendiri..” sorot mata Will memperlihatkan ia benar-benar rasa salutnya.
Michelle memandang Will sejenak. Lalu ia berkata, “Pernah suatu hari, sehari sebelum gue kabur dari rumah, gue mikir. Kenapa gue ngga terlahir sebagai anak orang kaya yang mempunyai segalanya, kenapa gue ngga terlahir dikeluarga serasi yang saling menyayangi. Gue nangis sepanjang malam hingga mata gue bengkak. Tapi gue ngga pernah mendapatkan tanggapan itu. sesudah gue mengalami hal yang lebih berat dari itu, gue gres mendapatkan jawabannya...” ia membisu sejenak menunggu tanggapan Will.
“Apa?” tanya Will.
“Gue ngga terlahir sebagai anak orang kaya bukan alasannya ialah gue ditakdirkan miskin. Gue ngga terlahir dikeluarga yang serasi bukan alasannya ialah gue mempunyai ayah yang kasar. Tapi alasannya ialah gue diberi pelajaran perihal hidup yang sesungguhnya. Dimana gue harus berkerja keras untuk memperbaiki hidup gue semoga tidak terjadi lagi untuk keluarga gue nanti.. gue bisa mencar ilmu bagaimana caranya menjalani hidup yang keras sebelum gue tiba-tiba menemui itu..” Ucap Michelle dengan senyum optimisnya.
Will benar-benar tak menyangka kata-kata sedewasa itu akan keluar dari bibir mungil gadis itu. “Michelle, loe bisa nebak apa yang gue pikirin?”
Dahi Michelle berkerut, “Gimana gue bisa? Gue bukan peramal..”
Will tersenyum tipis, “Gue mikir.. Kalau aja kini kita mengobrol dalam keadaan normal..”
Michelle hanya diam, ia memalingkan wajahnya memandang hujan. Sebenarnya ia ingin menyembunyikan matanya yang mulai berair. Belum ada orang yang benar-benar menghargai keberadaan dirinya sesudah ibunya meninggal.
“Dan Michelle..” Panggil Will.
“Hmm..” Gumam Michelle tanpa memandang Will.
“Gue berharap, loe akan hidup bahagia. Benar-benar bahagia. ngga perlu lagi lari dari apapun. Dan suatu hari nanti loe akan meninggal dengan senyuman diwajah loe di kasur yang hangat, dikelilingi orang-orang yang menyayangi loe.” Ucap Will lembut.
Michelle menghela nafasnya yang mulai berat, air mata menitik satu persatu. Namun ia segera menghapusnya, tak ingin Will menyadarinya.
Meskipun Michelle mencoba menyembunyikan wajahnya, Will sanggup mencicipi apa yang dirasakan oleh gadis manis itu. tangannya bergerak menyentuh rambut gadis itu. Berusaha untuk membelainya, tapi ia tak bisa menyentuh gadis itu. semua ini membuatnya hampir gila. Menjadi hantu yang bergentayangan mencari tubuhnya, itu akan menarik bila berada di sebuah film. Tapi ia tak senang bila mengalaminya. Dia memikirkan pembicaraan lain untuk melewati suasana, dan ia teringat ucapan laki-laki tadi ditelpon. “Michelle, apa berdasarkan loe, yang dimaksud orang tadi dengan ‘anak itu’. itu gue?”
Michelle membersihkan sisa air mata dan memandang Will, “Gue rasa. Karena apa mereka akan menyulik banyak anak dalam waktu yang bersamaan?”
“Gue rasa juga begitu. Tapi, lubang apa yang mereka maksud?” Tanya Will.
Michelle berpikir sebentar, “Gue ngga begitu tau. Tapi gue rasa gue tau dimana tebing yang ia bicarain...”
“So, besok loe mau nyoba ke jurang itu?” Tanya Will.
“Hmm.. sepertinya..” Ucap Michelle.
Will cukup puas mendengar ucapan Michelle. Dan pembicaraan selesai.
***
“Loe yakin mau ke gedung itu lagi?” Tanya Will ketika ia dan Michelle mengendap-endap dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan gedung kemarin.
“Iya, alasannya ialah kita ngga tau apa tubuh loe udah dipindahin atau belum sama mereka.” Ucap Michelle sambil memperhatikan gedung itu.
Didepan gedung berdiri dua orang laki-laki bertubuh besar dengan baju serba hitam disebelah sebuah kendaraan beroda empat yang juga berwarna hitam. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu yang penting. Dari jauh Michelle bisa mengenali salah seorang laki-laki yang berdiri disana ialah laki-laki yang hampir menangkap dan menembaknya kemarin. Dia harus lebih berhati-hati. Tiba-tiba mata laki-laki kemarin itu menyapu pepohonan dan tampak terkejut melihat pohon tempatnya bersembunyi, jantung Michelle sempat berdegup kencang. Dia takut bila ketahuan. Tapi ternyata laki-laki itu tampak tidak curiga, ia melanjutkan pembicaraan. Beberapa ketika kemudian, laki-laki yang kemarin pergi meninggalkan temannya. Lama Michelle menunggu laki-laki kedua ikut pergi, hingga ia bisa kembali menyelinap kedalam gedung.
“Michelle...” Panggil Will sambil memandangi kedua tangannya.
Michelle memandang Will, matanya eksklusif melotot melihat tubuh Will yang mulai menghilang. “Will, loe kenapa?” Bisiknya panik.
Will menggeleng, “Ngga tau, gue bener-bener ngga tau.. kenapa bisa gini??” semakin usang tubuh Will menghilang hingga tak ada yang tersisa.
“Will? Will!!” Panggil Michelle. Tapi Will tak pernah muncul kembali, ia memandang kesekeliling. Namun ketika memandang kebelakang, betapa terkejutnya ia ketika menyadari laki-laki yang kemarin sudah berdiri dibelakangnya.
“Apa kabar nona?” ucap laki-laki itu sambil tersenyum sinis.
Michelle berbalik dan mencoba kabur, tapi laki-laki itu dengan cepat menarik lengan dan menjambak rambutnya. Dia tak bisa berkutik lagi.
“Mau kemana nona manis? Apa loe ngga mau main sama gue dulu?” Tanya Pria itu sambil tertawa.
“Lepasin! Awww!!! Sakit!” jeritnya ketika laki-laki itu menarik rambutnya terlalu keras.
Pria kedua muncul dari balik pohon, “Jangan buang-buang waktu, bawa ia dan masukkan ketempat bocah bau kencur kemarin! Kita ngga mungkin ngelepasin dia!”
“Ayo ikut!!” Seru laki-laki tadi sambil menyeret tubuh Michelle kedalam gedung.
“AAWW!! Sakit!!” Michelle terus memberontak, tapi semakin ia berontak, laki-laki itu semakin erat memegang lengannya. Akhirnya ia tak bisa melaksanakan apapun selain mengikuti dua laki-laki itu.
“Langsung aja bawa ia ke tempat anak itu!!” Perintah laki-laki kedua.
Maksudnya Will? Batin Michelle.
“Baik bos..” Ucap laki-laki tadi.
Michelle malah tak sabar ingin segera bertemu dengan tubuh Will, meskipun ia masih tak mengerti mengapa tiba-tiba arwah Will menghilang. Dia berpura-pura memberontak semoga mereka tak ragu untuk membawanya ketempat tubuh Will. Tapi hal itu malah menciptakan tasnya terjatuh, dan..
PLAKKK!!! Pria besar itu menampar Michelle hingga sudut bibirnya pecah dan menyeluarkan darah. Gadis itu tak bisa memberontak lagi. Semuanya terasa ibarat berputar.
Pria itu membawa Michelle melewati hutan-hutan di sebelah gedung. Tak usang kemudian laki-laki itu berhenti dan meraba-raba tanah yang ditutupi dedaunan kering, kemudian ia menarik sesuatu yang ternyata pintu rahasia. Dengan satu tangan ia mendorong tubuh Michelle kedalam lubang dibalik pintu itu.
DUAAKK!! Tubuh Michelle membentur permukaan keras. Tubuhnya terasa remuk. Sepertinya jarak dari dasar lubang ini dengan permukaannya sangat jauh. Dia tak bisa menggerakkan tubuhnya untuk beberapa saat, ia hanya bisa terbaring kaku dipermukaan curam dan cuek itu. semuanya gelap, apalagi sesudah laki-laki itu menutup pintu tadi dengan keras. Tapi sesudah beberapa saat, ternyata tak segelap awalnya, ia hanya perlu membiarkan pupil matanya terbiasa dengan gelap. Dan semuanya terlihat terang walaupun ibarat melihat dalam ruangan berlampu 5 watt. Setelah memastikan tak ada tubuhnya yang patah, ia perlahan bergerak bangkit. Ketika melihat kesamping kanan, ia melihat sesosok tubuh tergelak tak bergerak.
“Will??!!!” ia berusaha secepat mungkin untuk mendekati tubuh Will.
Kondisi Will sangat memperhatinkan, terdapat beberapa lebam diwajahnya. Tubuh altletis yang terbalut sweater abu-abu itu terkuali lemah tak berdaya. Dia benar-benar tak tega melihat kondisi pemuda itu. ia membuka epilog matanya perlahan, tak ada respon dari Will. Tiba-tiba terdengar langkah besar dari atas, dan pintu diatas kepalanya terbuka. Dia segera berbaring dan berpura-pura pingsan. Ketika itu ia gres menyadari kalau ada sebuah tangga yang melekat di dinding. Terdengar bunyi dua orang laki-laki yang saling berkomunikasi, sesudah itu seorang dari mereka turun.
Jantungnya berdegap kencang, berharap tak terjadi apa-apa pada dirinya. Dia mencicipi langkah besar melewati pinggangnya. Dia mengintip dari celah matanya, laki-laki itu mengangkat tubuh Will dengan susah payah.
“Duhh.. kayaknya mati beneran nih bocah!” Ucap laki-laki itu pada temannya setengah berteriak.
“Biarin aja! Kan lebih praktis ngebuangnya..” Ucap laki-laki yang diatas lubang santai.
“Serius loe? Trus, nih cewek mau diapain?” Tanya laki-laki pertama tadi lagi.
“Udah, ngga usah dipikirin. Biarin aja ia membusuk disini...” Ucap laki-laki kedua, kemudian melemparkan seutas tali kebawah.
Pria pertama mengikatkan tubuh Will pada tali dan membiarkannya naik keatas, kemudian ia naik melalui tangga. Tak usang kemudian terdengar bantingan pintu dan semua kembali gelap.
Michelle membuka matanya perlahan, ia segera bangun dan meraba-raba mencari tangga tadi. Dengan hati-hati ia memanjat tangga. sesudah tiba di puncak tangga, ia berusaha membuka pintu dengan kepala dan sebelah tangan. Bersyukur pintu itu tidak dikunci atau di tahan oleh apapun. Dia segera keluar dari lubang dengan hati-hati. Ketika itu ia gres menyadari tangan dan kakinya lecet di beberapa tempat. Setelah memastikan lingkungan aman, ia melangkah cepat keluar dari hutan. Will niscaya sudah dibawa ke jurang itu, tapi ia tak mungkin tiba kesana dengan tangan kosong. Makara ia tetapkan untuk kembali ke gedung renta itu untuk mengambil tas, itu pun bila para laki-laki itu tidak membuang tasnya. Dia melangkah perlahan menuju gedung renta sambil menahan sakit dri kakinya. Dia bersembunyi dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan keadaan gedung, tak terlihat ada orang disana. Sepertinya kedua orang tadi tidak ada, ia segera melangkah masuk ke gedung dan mencari tasnya. Ternyata tas berwarna hitam itu masih berada di tempat ketika ia jatuh. Dengan cepat ia membuka tas dan mengluarkan pistol serta handphone Will. Sambil melirik kanan dan kiri ia memasukkan handphone Will ke saku celana, kemudian berjalan keluar dengan memegang pistol. Meskipun tak pernah menggunakannya, tapi ia sudah biasa melihat dalam adegan di film. Paling tidak ia tahu bagaimana cara untuk menggunakannya.
Dia menelusuri hutan sambil tetap was-was. Dengan sigap ia segera bersembunyi di balik sebuah pohon ketika melihat dua orang laki-laki besar tadi diujung jalan.
“Si bos absurd banget! Ngapain ngebiarin tuh bocah disana. Tinggal di lempar ke jurang kan beres, gak ada bukti lagi kalau kita yang udah nyulik dia.” Ucap Seorang laki-laki ketika berlalu.
“Iya, kalau gini ceritanya keburu ketangkep kita..” Ucap yang satu lagi.
Michelle lega mendengar itu, berarti tubuh Will belum dibuang kejurang, ia harus bergerak cepat semoga tidak terlambat. Dia segera menyelinap diantara pohon menuju pinggir jurang. Jurang itu sangat dalam, bila terjatuh kedalam mungkin akan eksklusif mati. Dari kejauhan ia bisa melihat tubuh Will yang tergeletak beberapa inci dari pinggir jurang. Disana hanya 1 orang yang berdiri memandang kearah langit-langit jurang, laki-laki bertubuh atletis itu terlihat sangat hening sambil memasukkan kedua tangannya disaku. Dari belakang laki-laki itu terlihat familiar dimatanya. Dia menggenggam erat pistol sambil berjalan mendekati laki-laki itu.
“Kenapa loe nyulik Will??” Tanya Michelle pelan.
Cowok itu tak terlihat kaget mendengar bunyi Michelle. Dia berbalik pelan dan memandang gadis itu.
Michelle terkejut melihat laki-laki itu. laki-laki yang tak asing dimatanya. Kevin, bosnya di toko kaset. Dia memandang pemuda itu tak percaya, “Kevin?”
Kevin tersenyum, “Hei Michelle, tiba untuk melihat-lihat?”
Michelle benar-benar tak percaya Kevin ada dibalik penculikan Will, seseorang yang menurutnya ramah dan hangat. “Kevin, loe bos orang-orang itu??”
Kevin tersenyum bangga, ibarat seorang anak kecil yang gres saja menjuarai sebuah perlombaan. “Ya.. keren kan..” nada bicaranya masih ibarat biasa, sangat dekat dan suka menciptakan beberapa lelucon.
“Tapi kenapa?” Tanya Michelle.
Kevin mengeluarkan kedua tangannya dari saku dan melipatny didada, “Hmm.. tentu ada alasan kan..”
“Apa alasannya? Kenapa loe nyulik Will? Salah ia apa?” Tanya Michelle lagi.
Kevin memandang Michelle lembut, “Michelle, terkadang kita harus berpura-pura tidak tau semoga selamat.. Loe ngerti kan maksud gue?”
Michelle mengerti, Kevin memeintanya untuk tetap membisu dan tidak ikut campur. Dia memandang tubuh Will.
“Michelle, loe udah masuk terlalu dalam. Makara gue mohon jangan melangkah lagi, segera mundur dan hidup ibarat biasa. Loe tau, gue ngga bisa ngeliat cewek manis kayak loe terluka..”
“Kevin, gue tiba kesini untuk membawa tubuh Will!!” Seru Michelle.
Kevin tak terkejut, malah terlihat kagum. “Wow, loe tau namanya..”
“Kevin, berhenti bercanda! Loe harus bawa Will pulang! Loe tau kan betapa besarnya gosip perihal penculikan Will! Apalagi loe udah ngebunuh dia..” Ucap Michelle.
Kevin memandang Will, “Sepertinya loe ngga akan ngebiarin semua ini berlalu begitu aja..” ia melirik Michelle, “Ya kan?”
“tentu aja! Loe bisa dipenjara alasannya ialah udah ngebunuh orang!!” seru Michelle.
Kevin tertawa kecil, “Ya, memang.. gue niscaya di penjara usang banget alasannya ialah udah ngebunuh orang dengan sengaja. Tapi itu kan kalau ada yang tau gue dalangnya, kalau ngga ada? Gue bebas kan?”
Jantung Michelle berdegup kencang, perasaannya mulai tidak enak. Kevin sudah mengancamnya. Dia memperat genggamannya pada pistol.
Perlahan Kevin melepas lipatan tangannya, tangan kanannya bergerak mengambil sesuatu dibalik bajunya. Ternyata senjata api laras pendek dengan peredam suara.
Michelle segera mengcungkan senjatanya kearah Kevin sebelum kalah langkah.
Mata Kevin membesar kagum, “Wow! Reflek yang bagus.. Loe bisa masuk ke kelompok penembak pribadi gue kalau loe mau..”
“Kevin! Gue ngga tau apa alasan loe menculik Will, tapi apa yang loe lakuin ini salah!!” Ucap Michelle berusaha menyadarkan Kevin.
“Loe mau tau alasannya?” Kevin memandang langit dan menjawab sebelum Michelle bicara. “Karena gue juga anak dari seorang pengusaha Jonathan Kim! Seharusnya nama gue ialah Kevin Kim..”
Dahi Michelle berkerut, “Apa??!”
“Dan loe tau semuanya.. Gue anak dari dari bokap sebelum ia nikah dengan nyokapnya. Dan loe tau, gue sama nyokap gue dibuang gitu aja sama dia. Setelah itu nyokap gue bunuh diri, dan tinggal gue yang harus hidup sendiri ditengah cacian dan makian orang-orang. Hingga jadinya gue berhasil ngebuka toko kaset. Hidup gue mulai teratur...” Cerita Kevin.
Semuanya mulai terlihat terang bagi Michelle, “Jadi alasannya ialah itu loe dengan praktis nerima gue untuk kerja di toko loe? Karena nasib kita sama??!!”
“Yup! Betul banget! Baik banget kan gue, woow..” Kevin tertawa manis. Pasti tak akan ada yang menyangka disa telah melaksanakan semua ini bila melihat wajahnya.
“Tapi Kevin, apa gunanya loe ngebunuh Will? Dia ngga tau apa-apa.” Ucap Michelle.
“Will memang ngga tau apa-apa.. Tapi bokapnya kan tau, so gue mau bikin bokapnya, atau bokep gue, ngerasain gimana harapannya hancur seketika!” ucap kevin.
Air mata Michelle menetes, ia sanggup mencicipi kepedihan yg dirasakan Kevin meskipun ia memamerkan senyum manisnya. “Kevin, kini udah selesai kan? Ngga ada gunanya loe buang Will kejurang..”
Kevin tertawa kecil, “Jadi loe belum ngerti?”
Michelle memandang Kevin tak mengerti.
“Will belum mati!” Ucap Kevin santai.
Michelle terkejut, “Hah?!!” ia memandang tubuh Will, terlihat ibarat mayat.
“Dan Michelle, gue rasa loe mau mati disini sama adek TIRI gue..” Kevin mengangkat pistolnya dan menarik pelatuknya.
Disaat yang bersamaan Michelle juga melaksanakan hal yang sama.
Dor!!! Terdengar letusan besar, dari kedua pistol.
“Ahkkk!!!” Michelle memegang perut sebelah kirinya yang tertembus peluru, darah mengalir deras dari luka itu.
“Ahkkk!!!” Kevin tak sempat memegang bahunya ketika dorongan peluru dari pistol Michelle mendorong tubuhnya kebelakang, ia tak bisa melawan gravitasi bumi hingga terjatuh ke jurang.
Michelle terjerembab ketanah, perutnya terasa sangat nyeri. Dia menyeret tubuhnya mendekati Will. Dengan tangan berlumuran darah ia memegang dada Will, ternyata benar jantungnya masih berdetak walaupun lemah. Nafasnya mulai terengah-engah, darah dari perutnya mengalir ibarat mata air. Kakinya mulai mati rasa. Dia segera mengeluarkan handphone Will dan mengaktifkannya sebelum ia kehilangan kesadarannya, ia mencari dikontak panggilan. Akhirnya ia menemukan kontak ibu Will. Segera ia memanggil kontak itu.
“Hallo! Will! Kamu dimana?” Ucap bunyi perempuan diseberang sana.
Michelle mengumpulkan semua suaranya yang tersisa, “Will sekarat.. segera datang!” ia meletakkan handphone Will di tanah, suaranya tak sanggup keluar lagi. Mereka tentu bisa menemukan Will melalui GPS dari handphone Will. Dia berbaring disebelah tubuh Will sambil menahan darah yang terus keluar dari perutnya. Dia memandang wajah Will yang hanya beberapa senti dari wajahnya. Dia tak takut mati, juga tidak murka ini harus terjadi. Dia senang bisa membantu Will, laki-laki yang dalam beberapa jam sanggup mencuri hatinya.
***
Semuanya terasa tenang. Perlahan terdengar sedikit kebisingan yang tak mengganggu. Udara segar terus mengalir dihidungnya. Nahkan ia bisa mendengarkan denyut jantungnya sendiri, sekelebat cahaya menerobos kecelah matanya. Michelle membuka matanya perlahan, pandangannya buram. Terlihat seorang laki-laki yang mendekat kesisinya, tapi ia tak tau itu siapa. Terdengar laki-laki itu berbicara, tapi tak terdengar jelas. Beberapa ketika kemudian, semua indranya sudah berfungsi baik. Dia sanggup melihat dengan terang bahwa laki-laki itu ialah ayahnya.
“Michelle, kau udah ngga apa-apa?” Ucap ayah Michelle cemas.
Michelle tak percaya meilhat ayahnya berbicara selembut itu padanya, ia mencoba untuk memberontak. Tapi ia tak bisa banyak bergerak alasannya ialah nyeri diperutnya. Ketika itu ia menyadari ia berada di rumah sakit.
“Michelle! Tenang! Papa tau kau masih murka sama papa.. tapi papa tiba kesini untuk meminta maaf atas segalanya. Papa berusaha untuk mencari kau sesudah kau kabur dari rumah, tapi gres beberapa bulan kemudian papa mengertahui dimana kau bekerja. Papa mencari kau ketempat kau kerja, ditoko kaset itu. bos kau memberi tahu papa alamat kontrakan kamu. Tapi kau malah kabur lagi ketika papa datang.. Papa mohon, maafin papa. Papa benar-benar menyesal..” Ucap ayah Michelle dengan linangan air mata.
Michelle teringat ucapan Will ketika mereka istirahat dibawah jembatan. Air matanya mengalir mengingat itu. tapi, dimana Will? “Will mana?” tanyanya pelan.
Dahi ayah Michelle berkerut, “Will? Cowok yang sama kau di dekat jurang itu? ia ada di ruang ICU juga. Dua atau tiga kamar dari sini...”
Michelle lega mendengar ucapan ayahnya, berarti Will masih hidup. Dia meraba perut sebelah kirinya. Masih teringat betapa sakitnya ketika peluru dari senjata api Kevin menembusnya, ia memandang ayahnya, “Kevin?”
Ayah Michelle tampak enggan menjawab, kemudian menggeleng pelan. Menandakan Kevin tidak selamat dari ketinggian tebing itu.
Michelle duka mendengar itu. Kevin mempunyai nasib yang sama dengannya.
Ayah Michelle memegang punggung tangan putrinya, “Michelle, papa ngga mau kau hidup sepreti ini lagi. Kamu mau kembali pulang bersama papa? Mama kau khawatir sekali dengan kamu, ia tidak pernah sekali pun melupakan kalau kau tidak ada dirumah..”
Mama? Michelle menarik tangannya, “Maksud papa tante Regina?”
Ayah Michelle mengangguk pelan, ia kembali menerima tatapan tajam dari putri semata wayangnya.
Michelle memalingkan wajahnya, ia masih belum bisa mendapatkan perlakuan ayahnya sesudah adik tirinya lahir. “Ngga perlu! Aku bisa mengurus hidup saya sendiri! Papa bisa urus anak gres papa itu!” ucapnya ketus.
“Michelle?!” ayah Michelle menatap Michelle, “Itu adik kamu, namanya Amara..”
“Aku ngga peeduli!!” Air mata Michelle mulai mengalir dari sudut matanya.
Ayah Michelle mengerti alasan perlakuan putrinya itu, “Papa ngerti kalau kau kecewa, tapi kau ngga pernah tau kan apa yang udah papa dan mama kau alami setelah...”
“Dia bukan MAMA AKU!!” Potong Michelle.
“Oke! Tante Regina!” Ucap ayahnya memperbaiki, “.. sesudah kau kabur dari rumah..” lanjutnya, “Tante Regina sangat duka dan merasa bersalah. Dia menangis setiap hari. Dia yang meminta papa untuk terus mencari kamu. Bahkan ia tidak memperhatikan anaknya sendiri!! Amara mulai sakit-sakitan ketika memasuki 1 tahun alasannya ialah tante Regina selalu stress memikirkan kamu! Dua bulan kemudian Amara meninggal!!!”
Michelle terkejut, ia memandang ayahnya tak percaya. “Apa?!”
Air mata ayah Michelle mulai menitik, “Iya Michelle, Amara meninggal dunia! Apa kau tidak bisa melihat itu sebagai bukti kalau kami memang menginginkan kau kembali? Papa mohon Michelle...”
Michelle merasa bersalah. Semua pikiran buruknya selama masa pelarian, membuatnya penuh dengan kebencian pada perempuan yang ia pikir ialah perusak kehidupannya. Dia tak menyangka kenyataan yang terjadi ibarat ini. Makara selama ini yang tersiksa bukan hanya dirinya, juga ayah dan ibu tirinya.
“Michelle, Papa dan tante Regina benar-benar ingin kau kembali. Apa kau tidak bisa memaafkan kami?” Tanya ayah Michelle.
“Pa..” Panggil Michelle pelan dalam isak tangisnya.
“Iya sayang..” ucap ayahnya lembut.
“Aku..” Michelle tercekik oleh kata-katanya sendiri, “Aku.. mau ketemu tante Regina...”
Ayahnya tersenyum senang mendengar ucapan Michelle sambil mengelus rambut putrinya, “Benar sayang?”
Michelle mengangguk, “Iya, Pa.. saya mau minta maaf untuk kepergian Amara, juga alasannya ialah saya selalu memanggil ia tante..”
Ayahnya mengecup dahinya, “Iya sayang, kita akan segera ketemu tante Regina...”
Michelle tak menyangka ayahnya akan berkata ibarat ini, “Maafin saya pa.. saya udah bikin papa susah..”
“Ngga apa-apa sayang, yang penting kini kau udah baik-baik aja. Itu yang terpenting!” Ucap ayah Michelle.
Dan inilah kenyataan. Tak ada yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dimasa depan. Michelle kembali kepada keluarganya. Dia menerima sambutan hangat dari ibu tirinya, Regina. Ternyata ibu tirinya sangat penyayang ibarat ibu kandungnya. Dia senang menjalani kehidupannya yang baru. Namun ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Dia tak sempat menemui Will ketika pulang dari rumah sakit, alasannya ialah tanpa ia ketahui keluarga pemuda bertubuh atletis itu membawanya keluar negeri untuk menjalani operasi patah tulang. Entah kapan ia bisa bertemu pemuda itu secara hidup, tapi ia sudah merasa senang telah membantunya.
***
“Michelle, ayo.. dagingnya udah masak nih..” Panggil Regina dari pekarangan rumah dengan senyum ramah yang tak pernah disadari Michelle.
Michelle yang duduk diteras rumah mengangguk dan segera menghampiri ayah dan ibu tirinya. Mereka mengadakan pesta BBQ kecil-kecilan untuk menyambut kepulangan dirinya kerumah meskipun sudah lewat sebulan. Dia melangkah perlahan menuju perkarangan sambil memegangi perut sebelah kirinya yang maish nyeri.
Regina menghampiri Michelle dan membantunya berjalan, “Hati-hati sayang.. Nanti lukanya berdarah lagi..”
Michelle tersenyum, “Iya,Ma..”
Regina memandang Michelle senang. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Mama kok nangis?” Tanya Michelle bingung.
Regina tersenyum sambil menggeleng, “Mama ngga nangis sayang, mama Cuma senang alasannya ialah kau manggil ‘MAMA’” ucapnya terharu.
Michelle merasa sangat bersalah telah melukai hati perempuan yang sangat lembut ini. Dia duduk dikursi disebelah Regina.
“Nahh.. ini dagingnya udah matang..” Ayah Michelle meletakkan sepiring besar daging-danging yang sudah ia panggang.
“Wahh.. sausnya mana nih?” Tanya Regina heran.
“Yahh.. masih dirumah, papa ambil dulu ya..” Ucap ayah Michelle.
“Eh.. ngga usah pa, biar saya aja..” Ucap Michelle sambil berdiri perlahan.
“Yakin sayang? Kamu kan masih sakit..” Ucap Regina cemas.
“Ngga apa-apa ma.. saya ambil dulu ya..” Michelle melangkah menuju pintu masuk.
Ketika itu sebuah kendaraan beroda empat berhenti didepan susukan rumah Michelle. Dia, Regina dan Ayahnya serentak memandang kearah kendaraan beroda empat itu dengan tatapan penasaran.
“Siapa ya?” Gumam Regina.
Pintu penumpang kendaraan beroda empat berwarna hitam itu terbuka, turun seorang pemuda menggunakan sweater coklat. Cowok itu bermata indah dan wajah bercahaya. Dia memandang Michelle dengan senyum manisnya, “Michelle..”
Michelle tak percaya dengan matanya sendiri, ia hanya bisa menatap pemuda itu tanpa bergerak. Air matanya menetes tanpa ia sadari, “Will?” ucapnya pelan.
Will melangkah cepat kearah Michelle. Dia memendang rindu yang sangat besar hingga tak bisa di bendungnya sendiri.
Michelle melaksanakan hal yang sama. Beberapa ketika kemudian ia sudah terbenam dalam pelukan Will. Air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Will memegang kedua pipi Michelle, matanya memperhatikan setiap sudut diwajah gadis itu. “Gue ngga percaya kini gue bener-bener nyentuh loe..” ibu jarinya menghapus air mata dipipi Michelle dengan lembut.
Michelle memandang kedua bola mata Will, “Gue kira loe ngga inget sama gue..”
“Ngga mungkin gue ngga inget sama orang yang sangat berarti dihidup gue.. Dan kini gue ngga mau ngelepasin orang itu lagi..” Jawab Will.
Michelle tak bisa menahan air mata senang dimatanya. Will memeluknya erat hingga ia sanggup mendengar denyut jantungnya.
Regina dan ayah Michelle senang melihat Michelle tersenyum dalam airmatanya. Tak ada yang sangat indah kecuali melihat kebahagian Michelle.
The End!!
Artikel terkait :
cerpen persahabatan
Puisi cinta
pantun cinta
